Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sejarah Pelacuran Di Indonesia

Pelacuran Di Indonesia - Mendengar nama pelacuran memang sesuatu yang menjadi pro dan kontra di kalangan manusia. Pelacuran atau tempat para wanita penghibur menjual diri tentu  banyak di dengar oleh masyarakat di beberapa kota besar saat ini. Sebut saja keberadaan Pasar Kembang di kota Yogyakarta, area prostitusi Dolly di Surabaya, maupun area Simpang Lima di Semarang, semuanya merupakan area-area pelacuran yang terdapat di Indonesia saat ini. Munculnya tempat-tempat prostitusi tersebut menjadi hal biasa di mata masyarakat. Namun apakah banyak yang mengetahui tentang keberadaan sejarah prostitusi atau pelacuran di Indonesia. Lalu apa yang menjadi alasan para wanita- wanita penghibur tersebut memilih pekerjaan ini? Apakah faktor himpitan ekonomi menjadi alasan kuat yang membuat para wanita-wanita ini menjadi pelacur?

www.anehdidunia.com

Ketika berbicara tentang masalah pelacuran tentu erat kaitannya dengan wanita, dunia malam maupun para lelaki hidung belang. Tapi taukah jika pelacuran sejak zaman dulu telah berkembang dengan pesat di dalam kehidupan manusia. Hal tersebut kemudian diungkapkan oleh oleh Hull (1997) yang menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran di Indonesia dari masa ke masa yang dimulai dari masa kerajaan-kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang dan setelah kemerdekaan.

Pada masa kerajaan di Jawa, perdagangan wanita dimasukan kedalam dunia pelacuran terkait sebuah sistem pemerintahan feodal. Hal tersebut tidak akan terlepaskan dengan keberadaan raja yang bersifat agung dan tak terbatas sehingga mendapatkan banyak selir. Kemudian sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti yang dirasakan oleh masyarakat modern saat ini, meskipun apa yang terjadi pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa tentang pelacuran telah membentuk landasan perkembangan industri seks/pelacuran di masa sekarang.

Setelah masa kerajaan-kerajaan di Jawa berakhir, fenomena pelacuran muncul kembali dengan wajah baru di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa pemerintah kolonial Belanda bentuk pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat. Didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dan pemuasan seks masyarakat Eropa yang ada di Indonesia. Disebutkan bahwa pada masa pendudukan VOC di Hindia Belanda sekitar tahun 1650-1653 Gubernur Jenderal Carel Reynierz mendukung kuat dengan adanya perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia. Hal tersebut menjadi bukti yang cukup menguatkan dimana fenomena pelacuran di zaman kolonial Belanda memiliki ciri khas dengan melegalitaskan pelacuran dengan cara perkawinan campur antara orang-orang Belanda dengan wanita-wanita pribumi (asia).

Dengan cara seperti itu keberadaan pelacuran di masa kolonial Belanda lebih dianggap terorganisir serta  rapi, karena pegawai-pegawai VOC yang rata-rata adalah orang Belanda yang memiliki bawahan para wanita-wanita pribumi dengan terpaksa  mau melakukan perkawinan campur yang dalam hal ekonomi lebih menguntungkan bagi para lelaki Belanda. Dalam masa ini  muncul istilah gundik dan para nyai yang dianggap sebagai istri para lelaki Belanda, hingga melahirkan anak-anak keturunan Indo-Belanda dan semakin memperkuat status sosial orang-orang Belanda ketika berada di Indonesia.

Kemudian komersialisasi seks di Indonesia berkembang pada masa pendudukan Jepang (antara tahun 1941-1945), setelah melihat sedikit dari aktifitas prostitusi pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dengan menjadikan area-area perkebunan di bawah monopoli VOC sebagai ajang prostitusi bahkan dapat melegalkannya dalam bentuk perkawinan campur antara lelaki Eropa dengan wanita pribumi. Di masa pendudukan Jepang semua perempuan yang dijadikan budak sebagai wanita penghibur dikumpulkan menjadi satu di dalam rumah- rumah bordir. Bukan hanya wanita yang menjadi wanita penghibur saja yang dibawa ke rumah bordil, namun banyak juga wanita yang tertipu atau terpaksa melakukan hal tersebut (Hull,1997:3).

Betapa tidak manusiawinya penjajahan pada masa pemerintahan Jepang ini yang kemudian merendahkan status sosial wanita-wanita pribumi yang tadinya bukan pelacur hingga membuatnya rendah sehingga dicap sebagai wanita penghibur atau Jugun Ianfu pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia. Hingga saat ini kisah tentang para mantan-mantan Jugun Ianfu teramat menyedihkan, terkadang belum ada yang mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai permasalahan sejarah wanita pribumi ditengah perbudakan dan penjajahan masa pendudukan Jepang. Kita akan mencoba mengangkat sisi kemanusiaan dari sejarah Jugun Ianfu ini, benarkah Jugun Ianfu adalah korban kebijakan politik kolonialisme Jepang di Indonesia, atau semata-mata digunakan sebagai budak nafsu para tentara Jepang ditengah-tengah kesibukan perang di wilayah Asia Pasifik? Kita akan mencoba melihat hal tersebut dalam frame yang berbeda, yang tetap mengungkap nilai politis serta nilai manusiawi di dalam sejarah yang telah tercatat tentang Jugun Ianfu.


sumber:http://anggariyonnugroho.blogspot.co.id/2015/09/sejarah-perkembangan-pelacuran-di.html