Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menguak Suku Bajau Jago Menyelam Kemampuan Bak Aquaman, Ini Rahasianya

Kita semua tentu sudah tahu kalau manusia adalah makhluk yang bernapas dengan paru-paru. Itu berarti manusia hanya bisa bernapas saat ada udara yang mengandung oksigen di sekitarnya. Jika manusia terpaksa masuk ke dalam air, maka ia harus melakukannya sambil menahan napas atau menggunakan alat bantu pernapasan semisal tabung oksigen. Saat seseorang menahan napas dan mencelupkan kepalanya ke dalam air, maka tubuh dari orang tersebut akan menampakkan reaksi yang dikenal dengan istilah “efek menyelam” (diving effect). Saat efek ini terjadi, detak jantung melambat, pembuluh darah mengerut, dan limpa mengerut. Semua itu terjadi supaya tubuh bisa menghemat energi dalam kondisi oksigen yang terbatas.

Kebanyakan orang hanya dapat menahan napas selama beberapa detik, sementara sebagian lainnya dapat melakukannya hingga beberapa menit. Namun kelompok masyarakat Bajau memiliki kemampuan menahan napas yang jauh lebih ekstrim. Mereka sanggup menahan napas di kedalaman 60 meter selama 13 menit!


Bajau adalah kelompok masyarakat tradisional yang tersebar di Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia, mereka dapat ditemukan  di Kalimantan, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau Indonesia Timur lainnya. Laut sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Bajau. Mereka setiap hari menyelam untuk menangkap ikan atau benda-benda laut supaya bisa diolah menjadi beraneka macam perkakas.

Lantas, apa rahasianya sampai-sampai masyarakat Bajau bisa memiliki kemampuan menyelam sehebat itu? Apakah diam-diam mereka memiliki kaitan dengan superhero macam Aquaman yang terkenal akan kehebatannya di bawah air? Penjelasan di balik kehebatan masyarakat Bajau ternyata tidaklah sedramatis itu. Sahabat anehdidunia.com menurut hasil penelitian terbaru yang dimuat di situs jurnal Cell, masyarakat Bajau mengalami semacam mutasi genetis pada organ limpanya, sehingga mereka memiliki kemampuan menyelam dan menahan napas yang lebih baik dibandingkan manusia pada umumnya.

Jika dibandingkan dengan organ-organ tubuh lainnya, limpa bukanlah organ tubuh yang vital. Seseorang tetap bisa hidup kendati tidak memiliki limpa, namun hal tersebut tidak lantas menandakan kalau limpa adalah organ yang tidak berguna. Pasalnya organ ini membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh dan mendaur ulang sel-sel darah merah. Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya semacam kaitan antara limpa dengan kemampuan menyelam di bawah air. Hewan-hewan mamalia yang menghabiskan banyak waktu di bawah permukaan air cenderung memiliki organ limpa dengan proporsi yang lebih besar. 

Ilmuwati Melissa Llardo lantas mencoba mencari tahu apakah fenomena serupa juga dapat dijumpai pada manusia. Saat tengah berjalan-jalan di Thailand, peneliti asal Universitas Kopenhagen Denmark tersebut mendengar cerita mengenai masyarakat pengembara laut Bajau dan kemampuan legendaris mereka dalam menyelam.

“Saya ingin bertemu dengan mereka. Bukan sekedar datang sambil membawa peralatan meneliti dan pergi,” ujarnya dalam salah satu kunjungannya ke Indonesia. “Dalam kunjungan kedua, saya membawa mesin sonar ultra portabel dan perlengkapan untuk meneliti ludah. Kami pergi dari rumah ke rumah, sambil mengambil gambar sonar limpa mereka masing-masing.” Masyarakat Bajau sendiri bukanlah satu-satunya masyarakat asli Indonesia yang diteliti oleh Llardo. Ia juga melakukan penelitian serupa kepada masyarakat Saluan asal Sulawesi. Saat dirinya sudah berhasil mengumpulkan sampel penelitian dari masing-masing komunitas, ia dan rekan-rekannya kemudian melakukan pembandingan di Kopenhagen.


Tim peneliti yang dipimpin oleh Llardo menemukan kalau ukuran limpa dari masyarakat Bajau pada umumnya berukuran 50 persen lebih besar dibandingkan limpa orang Saluan. “Jika ada hal yang menarik perhatian di level genetis, maka anda harus melihatnya di bagian limpa. Di sanalh kami melihat perbedaan yang amat mencolok,” jelas Llardo seperti yang dikutip oleh situs National Geographic. Llardo juga menemukan semacam gen bernama PDE10A yang mengontrol hormon tiroid di tenggorokan. Gen tersebut ditemukan pada sampel orang Bajau, tapi tidak ada pada orang Saluan. Pada tikus sendiri, gen ini memiliki kaitan dengan ukuran limpa. Tikus yang dimanipulasi supaya memiliki hormon tiroid lebih rendah cenderung memiliki limpa yang berukuran lebih kecil.

Llardo kemudian berpendapat kalau seiring berjalannya waktu, faktor adaptasi dan seleksi alam membuat masyarakat Bajau mengalami perubahan genetis supaya bisa beradaptasi dengan kondisi sekitarnya yang dipenuhi dengan laut. Sahabat anehdidunia.com secara terpisah, Richard Moon dari Universitas Duke berpendapat kalau ada faktor lain selain pembesaran limpa di balik kehebatan masyarakat Bajau dalam menyelam. Menurut Moon, tubuh manusia memiliki caranya tersendiri saat berada dalam kondisi ekstrim semisal kedalaman bawah air dan puncak yang tinggi.

Saat seseorang menyelam semakin dalam, tekanan bawah air membuat pembuluh darah di paru-paru berada dalam kondisi yang semakin penuh oleh sel-sel darah. Dalam kasus yang parah, pembuluh darah tersebut bisa pecah dan merenggut nyawa pemiliknya. Selain adaptasi genetis, latihan secara teratur dapat membantu seseorang terhindar dari resiko tersebut. “Dinding dada paru-paru menjadi lebih toleran. Selama latihan, semacam kelonggaran mungkin bakal terjadi. Rongga diafragma menjadi semakin meregang,” kata Moon. “Limpa bisa turut mengerut hingga tingkatan tertentu. Namun kami tidak tahu apakah ada kaitan langsung antara kelenjar tiroid dengan limpa. Tetapi mungkin saja kaitan itu ada.”


Cynthia Bell turut memberikan tanggapannya atas hasil penelitian Llardo. Menurut Bell, hasil penelitian Llardo sungguhlah menarik, namun penelitian-penelitian lanjutan tetaplah diperlukan. Menurutnya diperlukan bukti-bukti tambahan sebelum didapat kesimpulan kalau faktor genetik memang menjadi rahasia di balik ketangguhan suku Bajau di bawah laut. “Anda bisa mengukur limpa, sebagai contoh, mengenai tingkat mengerutnya,” kata Bell. Bell sendiri adalah antropologis dari Amerika Serikat yang sudah melakukan studi kepada orang-orang yang tinggal di ketinggian ekstrim, termasuk suku Tibet di Himalaya. 

Seperti halnya orang yang banyak menyelam, mereka yang tinggal di ketinggian juga mengalami perubahan pada fisiknya sebagai bentuk adaptasi. Perubahan tersebut adalah meningkatnya jumlah sel-sel darah merah untuk membantu orang yang bersangkutan mendapatkan pasokan oksigen yang cukup. Pasalnya semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, maka kadar oksigen di tempat tersebut bakal semakin menipis. Sahabat anehdidunia.com jika mereka yang tidak terbiasa dengan ketinggian secara mendadak pindah ke tempat tersebut, maka orang yang bersangkutan bakal mengalami gejala-gejala seperti pusing, kesulitan bernapas, hingga mimisan. Faktor ketinggian ini bahkan disebut-sebut menjadi penyebab mengapa di ranah sepak bola, tim-tim kuat seperti Brazil dan Argentina kewalahan saat harus bertanding di stadion milik timnas Ekuador atau Bolivia yang terletak ribuan meter di atas permukaan laut.



Kembali ke soal masyarakat Bajau. Menurut Llardo, hasil penelitian ini bisa turut dijadikan tambahan informasi untuk bidang medis. Pasalnya kondisi yang dialami oleh seseorang saat menyelam dianggap serupa dengan kasus hipoksia akut, suatu kondisi di mana seseorang kehilangan pasokan oksigen secara cepat dalam kurun waktu yang singkat. Hipoksia akut lazim terjadi di rumah-rumah sakit dan acap kali menjadi penyebab mengapa seorang pasien di ruang UGD kehilangan nyawanya. Dengan mempelajari kemampuan khusus masyarakat Bajau tersebut, diharapkan solusi untuk mengatasi masalah hipoksia akut ini bisa turut ditemukan.

Namun masyarakat Bajau sendiri secara perlahan mulai kehilangan gaya hidup tradisionalnya. Kian terdesaknya masyarakat Bajau oleh industri perikanan modern dan pembangunan mendorong sebagian dari mereka untuk mulai meninggalkan pola hidup tradisionalnya selama ini. Jika seluruh masyarakat Bajau pada akhirnya memilih untuk membaur dalam tatanan masyarakat modern, Llardo khawatir kalau hal tersebut bakal turut berdampak pada kondisi fisik masyarakat Bajau sendiri. Mereka secara berangsur-angsur akan kehilangan kemampuannya dalam menahan napas selama mungkin, sehingga wacana kalau kehebatan masyarakat Bajau tersebut dapat “ditularkan” terancam tidak akan pernah terwujud.

Sumber :
https://news.nationalgeographic.com/2018/04/bajau-sea-nomads-free-diving-spleen-science/?cmpid=org=ngp::mc=social::src=facebook::cmp=editorial::add=fb20180902science-resurfdivingnomads::rid=&sf196603826=1
https://en.wikipedia.org/wiki/Sama-Bajau
https://www.webmd.com/a-to-z-guides/altitude-sickness#