Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukan Main Wanita Ini Punya Alergi Terhadap Air

Bagi banyak orang, mandi atau menceburkan diri ke dalam air merupakan hal yang menyegarkan. Namun tidak demikian halnya dengan wanita asal Inggris ini. Baginya, melakukan kedua hal tadi justru merupakan hal yang sungguh menyiksa baginya. Karena bukannya mendapat kesegaran, yang ia dapat jika dirinya sampai terkena air adalah rasa sakit bak terbakar hidup-hidup. Bagaimana bisa?

Rachel Warwick adalah nama dari wanita tersebut. Ia adalah seorang wanita yang memiliki alergi yang amat langka: alergi air. Jika bagi banyak orang mandi atau menyelam di laut tropis adalah hal yang menyenangkan, maka bagi Rachel hal-hal tersebut tidak ada bedanya dengan menyiramkan air keras ke tubuhnya sendiri. “Hal-hal tadi bagi saya tidak ada bedanya dengan neraka,” kata Rachel seperti yang dilansir oleh BBC.

Jika kulit Rachel sampai terkena air – bahkan meskipun air tersebut adalah keringatnya sendiri – maka  kulitnya bakal langsung terasa sakit, membengkak, dan meninggalkan ruam gatal yang bisa bertahan hingga beberapa jam berikutnya. “Reaksinya membuat saya seolah-olah baru saja melakukan lari marathon. Saya merasa sangat kelelahan sesudahnya sehingga saya harus bergegas pergi dan duduk untuk beberapa lama,” keluhnya.

Rachel Warwick alergi air

Rachel tidak mengelak kalau kondisinya ini membuat ia merasa amat frustrasi hingga ingin menangis. Namun ia selalu berusaha untuk menahannya karena jika air matanya sampai keluar, maka reaksi alergi serupa bakal menyerang bagian wajah dan sekitar matanya.

Alergi langka yang dimiliki oleh Rachel tersebut pada gilirannya membuat mobilitasnya sungguh terbatas. Setiap kali hujan turun, ia tidak berani mengambil resiko menembus hujan sekalipun memakai payung atau jas hujan. Ketika orang lain bersenang-senang di kolam renang, ia hanya bisa menjadi penonton dan tidak bisa ikut bergabung bersama mereka. Bahkan untuk sekedar minum saja, ia harus ekstra hati-hati supaya tidak ada tumpahan air yang mengenai kulitnya.

“Saat saya bertemu dengan orang-orang, mereka selalu merasa kebingungan dan mengajukan pertanyaan serupa: ‘Bagaimana caramu minum?’ ‘Bagaimana caramu makan?’ Bagaimana caramu membasuh badan?’ Jawabannya adalah anda harus langsung meneguknya saja dan pasrah dengan kondisi ini,” tutur Rachel.

Rachel sendiri baru mengetahui kelainan yang dialami olehnya tersebut saat ia berusia sekitar 12 tahun. Awalnya ia menemukan adanya ruam pada tubuhnya seusai berenang. Rachel yang kebingungan lantas memeriksakan diri kepada dokter. “Dokter saya mendengar apa yang harus saya katakan, dan dia seperti ‘saya rasa anda terkena ini’. Saya beruntung dokter memahami masalah ini,” kata Rachel.

Rachel sendiri sesudah itu tidak dikirim untuk menjalani tes kesehatan. Pasalnya berdasarkan standar prosedur tes, seseorang yang hendak diuji harus membiarkan tubuh bagian atasnya tetap basah selama setengah jam untuk kemudian dipantau perubahannya. “Ia pada intinya mengatakan kalau apa yang bakal saya lalui (dalam tes) nantinya bakal lebih buruk daripada penyakit saya,” ujar Rachel.

Sejak Rachel mengetahui kelainan yang dimilikinya, Rachel pun kini harus pandai-pandai menjalani kesehariannya. Beruntung Rachel memiliki suami yang paham dengan kondisinya. Saat harus melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, suami Rachel dengan sukarela melakukannya.


Saat kebanyakan orang mandi setiap hari, maka Rachel membatasi dirinya untuk mandi hanya satu minggu setiap kali. Supaya dirinya tidak sering-sering berkeringat, Rachel hanya mengenakan pakaian tipis dan sebisa mungkin menghindari aktivitas fisik yang berat. Untuk mencukupi kebutuhan cairannya, Rachel lebih banyak minum susu ketimbang air karena reaksi alergi yang ditunjukkan kulitnya kepada susu tidak separah reaksi alerginya terhadap air.

Di kalangan ilmuwan sendiri, kondisi yang dialami oleh Rachel dikenal dengan istilah aquagenic urticaria. Dengan melihat kondisi yang dialami Rachel, mungkin banyak dari anda yang bakal bertanya-tanya. Air merupakan komponen terpenting bagi makhluk hidup. Bahkan tubuh manusia sendiri terdiri dari 60% air. Lantas bagaimana caranya Rachel bertahan hidup jika komponen yang membuatnya alergi juga merupakan komponen yang amat vital bagi kehidupannya?

Jawabannya adalah reaksi alergi yang ditunjukkan oleh tubuh Rachel hanya terjadi di bagian kulit. Dengan kata lain, cairan di dalam tubuhnya pada dasarnya tidak berbahaya bagi Rachel sendiri. Namun begitu air tersebut sampai mengenai kulit, terciptalah reaksi alergi yang harus ia lalui setiap harinya. Tak peduli apakah air tersebut air panas ataupun air dingin.

Fenomena aquagenic urticaria sendiri bagi para ilmuwan masih menjadi fenomena yang sangat sulit untuk dijelaskan. Normalnya alergi terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menunjukkan reaksi berlebihan terhadap benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh, misalnya debu. Namun dalam kasus aquagenic urticaria, reaksi demikian ditunjukkan terhadap air yang notabene juga banyak terdapat dalam tubuh manusia sendiri.

Ada beberapa pendapat mengenai penyebab reaksi alergi yang aneh ini. Menurut teori yang paling awal diajukan, reaksi alergi terjadi ketika air bersentuhan dengan bagian kulit yang penuh dengan sel kulit mati dan minyak. Bagian kulit tadi lantas menanggapinya dengan melepaskan senyawa beracun yang kemudian ditanggapi secara berlebihan oleh sistem kekebalan tubuh.

aquagenic urticaria alergi air
aquagenic urticaria alergi air

Karena penyebab aquagenic urticaria sendiri masih misterius, upaya penanggulangan penyakit ini pun tidak kalah membingungkan. Selama ini metode standar yang digunakan untuk menangani reaksi alergi berat adalah dengan memberikan obat antihistamin untuk menekan kadar histamin di dalam tubuh. Histamin sendiri adalah semacam protein yang dilepaskan oleh sel-sel kekebalan tubuh di kulit ketika ada benda asing yang masuk ke dalam tubuh.

Dalam sistem kekebalan tubuh yang normal, histamin adalah protein yang berguna karena protein ini juga membantu melonggarkan dinding pembuluh darah dan memudahkan sel-sel darah putih bergerak menuju lokasi masuknya benda asing tadi. Namun jika yang merangsang alergi adalah air, yang terjadi justru adalah pembengkakan di kulit akibat adanya penumpukan cairan dari pembuluh darah.

Selain antihistamin, sebenarnya ada obat lain yang dipercaya bisa menjadi solusi bagi penyakit Rachel. Obat tersebut adalah omalizumab di mana selain alergi terhadap air, obat yang sama juga efektif dalam menekan alergi-alergi aneh yang lain seperti alergi terhadap sinar matahari dan suhu. Obat itu sendiri sudah dicoba pada seorang dosen yang memiliki alergi terhadap keringatnya sendiri. Hanya dalam kurun waktu seminggu usai mengkonsumsi omalizumab, dosen tersebut tidak lagi terkena alergi serupa.

Namun bagi Rachel, penggunaan omalizumab sebagai solusi penyakitnya bak jauh panggang dari api. Pasalnya obat ini dianggap belum memiliki standar keamanan yang cukup akibat masih terbatasnya skala pengujiannya. Sebagai akibatnya, yayasan-yayasan kesehatan Inggis menolak menanggung biaya obat ini. Sementara jika Rachel harus merogoh koceknya sendiri untuk menggunakan omalizumab, ia harus mengeluarkan dana hingga puluhan juta rupiah per bulannya.

Masih terbatasnya pengujian omalizumab sendiri tidak lepas dari sulitnya mencari penderita aquagenic urticaria untuk dijadikan kelinci percobaan. Berdasarkan perkiraan ilmuwan, di dunia ini kurang lebih hanya ada sekitar 32 penderita aquagenic urticaria. “Kami menjumpai lebih dari 2.000 kasus (alergi) urticaria per tahunnya. Namun kami hanya pernah menjumpai 3 kasus aquagenic urticaria,” kata Marcus Maurer yang turut terlibat dalam pengembangan omalizumab.

Kendati begitu, dalam lubuk hati terdalamnya Rachel masih menyimpan keinginan kuat untuk sembuh. Ia bahkan sudah memiliki bayangan mengenai apa yang bakal ia lakukan jika ia tidak lagi menampakkan reaksi alergi. “Saya ingin bisa berenang di kolam renang umum. Dan menari di bawah terpaan hujan,” katanya berharap.

Sumber :
http://www.bbc.com/future/story/20160915-the-woman-who-is-allergic-to-water