Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Huanchaquito-Las Llamas Kuburan Ratusan Anak Korban Ritual Persembahan

Melakukan pengorbanan memakai hewan bukanlah hal yang asing bagi kita. Banyak peradaban di berbagai belahan dunia yang memiliki ritual pengorbanan hewannya masing-masing. Namun bagaimana jika yang dikorbankan adalah manusia, dan korbannya masih berusia anak-anak? Meskipun terdengar kejam, kenyataannya praktik macam itu benar-benar pernah terjadi di masa silam.

Di kawasan utara Peru, negara Amerika Selatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah barat, para arkeolog menemukan hal yang begitu mencengangkan. Sebanyak lebih dari 140 anak-anak dan 200 ekor anak unta llama diketahui pernah dibunuh secara massal untuk dijadikan korban persembahan.

Huanchaquito-Las Llamas
Tulang Belulang Ratusan Anak Korban Ritual via  nationalgeographic.com
Tempat yang menjadi lokasi pengorbanan massal tersebut oleh para ahli dikenal dengan nama Huanchaquito-Las Llamas. Di masa silam, tempat tersebut dipercaya menjadi ibukota dari Kekaisaran Chimu. Praktik pengorbanan massal ini diperkirakan terjadi kurang lebih 550 tahun yang lalu.

Praktik ritual pengorbanan memakai manusia sendiri sudah lama diketahui sebagai bagian dari ritual keagamaan bangsa Aztek, Maya, dan Inka. Saat para penjelajah asal Spanyol pertama kali menjejakkan kakinya di Amerika, mereka turut mencatat kalau penduduk pribumi setempat memiliki ritual mengorbankan manusia dengan cara mengambil jantung korbannya.

Namun baru kali ini, para ahli menemukan kalau anak-anak pernah dikorbankan dalam jumlah begitu banyak di masa pramodern Amerika. “Saya tidak pernah menyangkanya,” kata John Verano, pakar antropologi yang sudah mempelajari kawasan ini selama tiga dekade. “Dan saya rasa orang lain pun tidak akan ada yang pernah menyangkanya.”

lokasi Huanchaquito Las Llamas
lokasi Huanchaquito Las Llamas via  nationalgeographic.com
Huanchaquito-Las Llamas terletak di distrik Huanchaco, Peru utara, dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari tepi pantai. Di sebelah timur lokasi yang bersangkutan, terdapat reruntuhan bersejarah lain yang bernama Chan Chan. Saat peradaban Chimu masih berdiri, Chan Chan diperkirakan berfungsi sebagai pusat pemerintahan setempat. Sekarang Chan Chan sudah dinobatkan oleh PBB sebagai lokasi cagar budaya.

Pada masa jayanya, wilayah Chimu membentang sepanjang 600 mil di tepi pantai Amerika Selatan. Satu-satunya kerajaan asli Amerika Selatan yang wilayahnya lebih luas dibandingkan Chimu pada masa itu adalah Kerajaan Inka. Inka pulalah kelak yang menjadi penyebab runtuhnya Chimu setelah pasukan Inka melakukan invasi ke wilayah Chimu di abad ke-15.

Keberadaan Huanchaquito-Las Llamas sendiri sudah lumayan lama diketahui oleh para ilmuwan. Tempat ini pertama kali menjadi pusat pemberitaan media internasional di tahun 2011. Di tahun tersebut, para arkeolog berhasil menemukan kuburan massal berisi jasad 42 orang anak dan 76 ekor llama.

Penemuan kuburan massal itu sendiri awalnya tidak direncanakan. Pada awalnya, tim arkeolog yang dipimpin oleh Gabriel Prieto melakukan penggalian tidak jauh dari lokasi kuburan massal untuk mempelajari reruntuhan kuil berusia 3.500 tahun. Ia kemudian mendapat informasi dari warga lokal kalau ada tulang belulang manusia yang terlihat di dekat bukit pasir pantai.

Sejak penemuan perdana tersebut, aktivitas penggalian dan penelitian di Huanchaquito-Las Llamas terus berlanjut hingga sekarang. Pemeriksaan memakai metode penanggalan karbon pada sisa-sisa tali dan pakaian di lokasi kuburan massal menunjukkan kalau mereka berasal dari tahun 1400-an. Saat hendak dikorbankan, wajah anak-anak tersebut dilumuri dengan zat pewarna berwarna merah.

Saat ilmuwan memeriksa fosil manusia dan hewan yang ditemukan di lokasi, mereka juga menemukan kalau tulang rusuk mereka bergeser dan tulang dadanya terpotong. Sebuah pertanda kalau mereka nampaknya dibunuh atau dikorbankan dengan cara ditusuk di bagian dadanya, kemudian diambil jantungnya.

Tulang Belulang Korban Ritual
Tulang Belulang Korban Ritual via  nationalgeographic.com
Adanya kesamaan kalau bagian dada fosil-fosil tersebut berada dalam kondisi terpotong sekaligus mengesampingkan kemungkinan bahwa anak-anak ini tewas bukan karena dikorbankan, tapi akibat menjadi korban perang atau bencana alam. “Ini terjadi akibat pembunuhan ritual, dan dilakukan dengan sangat terukur,” kata Verano.

Selain tulang belulang anak-anak, ilmuwan juga menemukan mayat tiga orang dewasa di dekat lokasi dikuburkannya anak-anak dan llama. Saat diperiksa, bagian kepala mereka menunjukkan adanya tanda-tanda pukulan benda tumpul. Karena ilmuwan tidak menemukan adanya benda-benda berharga di dekat fosilnya, ilmuwan menyimpulkan kalau orang-orang dewasa ini mungkin memiliki peran tertentu saat ritual pengorbanan hewan dan anak-anak dilakukan.

Sebanyak 140 fosil anak-anak yang ditemukan di Huanchaquito-Las Llamas diketahui berusia antara 5 hingga 14 tahun, di mana mayoritasnya berusia antara 8 hingga 12 tahun. Sebagian besar dari mereka dikuburkan dengan posisi kepala menghadap ke laut yang ada di sebelah barat. Fosil-fosil llama yang ditemukan diketahui berusia kurang dari 18 bulan saat dikorbankan dan dikuburkan menghadap Pegunungan Andes di sebelah timur. 

Ilmuwan juga menemukan fosil jejak kaki di lokasi. Berdasarkan pengamatan, jejak-jejak kaki tersebut terdiri dari orang dewasa yang bersandal, anak-anak yang tidak memakai alas kaki, serta hewan-hewan yang terdiri dari anjing dan anak llama. Dengan mengamati fosil jejak kaki ini, ilmuwan juga berhasil merekonstruksi seperti apa jalannya ritual pengorbanan pada masa itu.

Penampakan Tulang Korban Ritual
Penampakan Tulang Korban Ritual via  nationalgeographic.com
Mula-mula, anak-anak dan kawanan llama muda yang hendak dikorbankan datang dari arah utara dan selatan, lalu bertemu di tengah-tengah. Di sanalah, mereka kemudian dikorbankan secara massal sebelum kemudian dikuburkan bersama-sama. Sebagian di antara mereka ada yang tidak dikuburkan, tapi sebatas digeletakkan di tanah berlumpur.

Penemuan fosil anak-anak dalam jumlah besar ini tak pelak memunculkan tanda tanya bagi kita yang tinggal di masa kini. Apa tujuan bangsa Chimu melakukan ritual dengan anak-anak sebagai korbannya? 

“Saat mereka mendengar hal ini dan skala pengorbanannya, pertanyaan pertama yang selalu mereka lontarkan adalah ‘kenapa’?” kata Prieto saat ia menceritakan penemuannya ini kepada rekan-rekan seprofesi dan warga lokal.

Haagen Klaus, pakar antropologi dari Universitas George Mason yang pernah ikut terlibat dalam aktivitas penggalian fosil korban ritual di Peru utara, memaparkan bahwa ritual ini mungkin ada kaitannya dengan kondisi iklim di Peru pada masa itu. Kawasan tempat mereka tinggal adalah kawasan yang berhadapan langsung dengan pantai dan rentan dilanda banjir saat fenomena El Nino tiba.

Penggalian Korban Ritual
Penggalian Korban Ritual via  nationalgeographic.com
“Orang-orang mengorbankan hal paling berharga yang mereka miliki,” papar Klaus. “Mungkin mereka melihat kalau mengorbankan orang dewasa dalam ritual sudah tidak lagi efektif. Hujan deras tetap saja turun. Mungkin mereka harus kembali melakukan ritual pengorbanan dengan korban yang berbeda.”

“Mustahil mengetahuinya tanpa bantuan mesin waktu,” kata Klaus sambil berandai-andai. “Ada gagasan kalau ritual pengorbanan dilakukan sebagai semacam kontrak. Supaya yang melakukannya bisa mendapat sesuatu dari sosok gaib yang diagungkan. Namun kenyataannya, ritual pengorbanan lebih terlihat sebagai upaya putus asa untuk berunding dengan penguasa alam gaib dan kemampuan mereka dalam mengatur hidup mati manusia.”

Supaya bisa mendapatkan petunjuk baru mengenai alasan dilakukannya ritual pengorbanan anak-anak, ilmuwan pun kini mencoba menerka-nerka seperti apa kehidupan anak-anak ini sebelum dijadikan korban persembahan. 

Berdasarkan analisa pada fosil mereka, anak-anak ini diperkirakan bukan hanya berasal dari kawasan setempat, tapi dari berbagai lokasi yang masih termasuk dalam wilayah Kerajaan Chimu. Sebagian dari mereka diketahui sengaja didatangkan jauh-jauh dari kawasan dataran tinggi, karena tengkorak mereka menunjukkan adanya tanda-tanda bekas modifikasi dan praktik ini pada masa itu hanya dilakukan di dataran tinggi.

“Las Llamas... membuat anda merasa penasaran apakah ada tempat lain seperti ini yang ada di luar sana untuk diteliti di masa depan,” ungkap Prieto. “(Tempat) ini mungkin baru sebatas puncak gunung es.”

Sumber :
https://news.nationalgeographic.com/2018/04/mass-child-human-animal-sacrifice-peru-chimu-science/