Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Mary I, Wanita di Balik Legenda Menyeramkan “Bloody Mary”

Setiap daerah memiliki kisahnya sendiri-sendiri mengenai permainan bertema horor. Kalau di Inggris dan sejumlah negara Barat, permainan yang cukup terkenal di sana adalah permainan Bloody Mary atau Mary yang Berdarah. Menurut ceritanya, jika seseorang masuk ke kamar mandi gelap sambil hanya membawa lilin yang menyala, kemudian mengucapkan nama Bloody Mary 3 kali, hantu Bloody Mary akan muncul sambil membawa sesosok mayat bayi.

Bagi mereka yang skeptis, kisah Bloody Mary dianggap sebagai takhyul semata. Namun sosok Bloody Mary ternyata memang benar-benar ada. Bukan dalam wujud hantu tentunya, melainkan dalam wujud seorang wanita yang di masa lampau pernah bertahta sebagai ratu Kerajaan Inggris. Jika dibandingkan dengan kisah permainan horornya, riwayat hidup yang sesungguhnya dari Ratu Bloody Mary tidak kalah mencekam.

Mary I Bloody Mary

Lahir pada tanggal 18 Februari 1516 di Istana Placentia Greenwich, Inggris, Mary kelak bakal menorehkan sejarah sebagai wanita pertama yang naik tahta sebagai pemimpin Kerajaan Inggris. Ia merupakan putri dari Raja Henry VIII dan Putri Catherine dari Aragon.

Walaupun lahir sebagai keturunan keluarga kerajaan, masa kecil Mary tidak bisa dikatakan bahagia. Pasalnya sebagai seorang perempuan, ia kerap menerima perlakuan yang kurang adil mengingat peraturan kerajaan cenderung memprioritaskan laki-laki dalam banyak hal, misalnya dalam hal pewarisan tahta.

Saat ia menginjak usia 17 tahun contohnya, ia harus menyaksikan kedua orang tuanya berpisah karena Henry menyalahkan istrinya yang tidak mampu memberinya anak laki-laki. Seolah itu belum cukup, Catherine juga dilarang menemui Mary sehingga Mary sejak itu tidak pernah lagi bertatap muka dengan ibunya.

Dengan harapan bisa mendapatkan anak laki-laki yang kelak bisa dijadikan penerus tahtanya, Henry kemudian menikahi seorang wanita Inggris yang bernama Anne Boleyn. Namun harapan Henry lagi-lagi tidak terwujud karena Boleyn justru melahirkan anak perempuan. Sahabat anehdidunia.com anak hasil pernikahan Henry dan Boleyn tersebut lalu diberi nama Elizabeth dan kelak juga bakal menjadi ratu Inggris.

Boleyn sendiri sejak awal memang memendam ambisi supaya Elizabeth kelak bisa menduduki singgasana Kerajaan Inggris. Mary selaku anak kandung Henry yang berasal dari wanita lain dianggap sebagai batu sandungan terbesar bagi ambisi Boleyn tersebut. Maka, Boleyn pun kemudian melobi parlemen supaya mereka menyatakan Mary sebagai anak haram yang klaim tahtanya tidak sah.

Upaya Boleyn tersebut berhasil terwujud sehingga Mary kini berada dalam posisi terkucilkan. Bak mendapat karma, Boleyn sendiri akhirnya tewas dihukum mati atas tuduhan berselingkuh. Dengan tewasnya Boleyn, upaya Mary untuk menjadi penerus tahta Kerajaan Inggris pun kini tak lagi terhalang.

Namun hal tersebut tidak serta merta membuat Mary berada dalam kondisi siap untuk memegang tahta Kerajaan Inggris. Sahabat anehdidunia.com pasalnya sejak masih remaja, ia kerap mengalami rasa sakit yang misterius dan memiliki siklus menstruasi yang tidak jelas. Saat sedang sendirian, ia juga kerap menunjukkan ekspresi sedih yang berlebihan. Hal-hal ini lantas berdampak pada tekanan fisik dan mental yang harus dijalaninya saat sudah benar-benar menjadi ratu Inggris.

Mary sendiri akhirnya dilantik menjadi ratu Inggris pada tahun 1553 dalam usia 37 tahun. Ia juga menikahi raja Spanyol, Philip, supaya keturunan mereka berdua kelak bisa menjadi pewaris tahta. Hasilnya, hanya berselang dua bulan sesudah pernikahan, perut Mary nampak membesar. Sebuah pertanda kalau ia sedang mengandung anak.

Namun hal tersebut ternyata hanyalah permulaan dari nasib buruk yang siap menghantui Mary. Pasalnya saat perut Mary terus membesar seiring berjalannya waktu, beredar pula isu kalau kehamilan Mary tersebut aslinya hanyalah bohong-bohongan semata. Awalnya Mary dan Philip tidak ambil pusing atas isu tersebut. 

Kurang lebih 6 minggu sebelum hari kelahiran bayinya tiba, Mary pindah menetap ke sebuah kamar yang terpencil sesuai dengan tradisi yang berlaku pada masa itu. Saat itulah keanehan terjadi. Ketika tanggal 9 Mei yang diperkirakan sebagai hari yang diperkirakan sebagai hari kelahiran bayinya sudah tiba, Mary ternyata tidak melahirkan bayinya sesuai dengan perkiraan awal.

Mary dan para pelayan pribadinya awalnya hanya sebatas mengira kalau bayinya tidak lahir akibat jadwal kelahiran yang salah. Maka, Mary pun memilih untuk menunggu hingga bulan Juni. Namun lagi-lagi keanehan timbul. Perut Mary yang awalnya terlihat buncit secara berangsur-angsur justru kemudian malah mengempis.

Sementara itu di luar, gosip-gosip liar mulai bermunculan mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan kehamilan Mary. Sahabat anehdidunia.com sejumlah orang mengklaim kalau Mary sudah melahirkan dan bayinya berjenis kelamin laki-laki. Sebagian lagi mengklaim kalau bayi Mary meninggal dalam kandungan. Ada juga yang menyebut kalau Mary sebenarnya tidak hamil, tapi hanya sedang menderita tumor perut.

Mary jelas merasa jengkel mendengar gosip-gosip tersebut. Namun ia tahu kalau selama publik tidak melihat bayinya, maka dirinya akan terus menjadi sasaran gosip-gosip yang tidak jelas. Maka, Mary pun memutuskan untuk kembali menunggu sambil berharap kalau bayinya kelak akan benar-benar lahir.

Sayangnya hal tersebut tidak juga terwujud. Saat bulan Juni berlalu, Mary kembali menunggu hingga sebulan berikutnya. Namun saat bayi yang dinanti-nanti tidak juga lahir, Mary akhirnya meninggalkan kamarnya pada bulan Agustus sambil diliputi tekanan batin yang tidak pernah ia alami sebelumnya. Ia merasa kalau Tuhan sedang menghukum dirinya.

Tekanan mental yang menimpa Mary pada akhirnya turut menjalar ke pemerintahannya. Saat itu rakyat Inggris sedang terbelah antara golongan penganut Katolik dan Protestan. Mary yang berambisi meredam benih-benih perpecahan tersebut lantas mengumumkan kalau dirinya bakal menyatukan rakyat Inggris di bawah agama yang sebenarnya. Dan agama yang dimaksud oleh Mary tersebut adalah Katolik.

Sebagai wujud keseriusannya tersebut, Mary pada akhir tahun 1554 meresmikan peraturan baru untuk menumpas gerakan Protestan di Inggris. Akibat dari peraturan baru ini, sebanyak 240 pria dan 60 wanita ditangkap dan kemudian dibakar hidup-hidup atas tuduhan menganut agama Protestan. Akibat tindakannya inilah, Mary kelak dikenal dengan nama julukan “Mary yang Penuh Darah” (Bloody Mary).

Beberapa tahun kemudian, Mary kembali merasa kalau dirinya sedang mengandung. Namun tidak seperti kabar kehamilan pertamanya, kali ini suaminya menanggapi kabar tersebut dengan perasaan biasa saja. Namun nasib baik lagi-lagi enggan menghinggapi Mary. Sahabat anehdidunia.com saat ia kembali mengalami kehamilan, ia sudah berada dalam usia menopause sehingga bayi yang diharapkannya tidak pernah lahir. Mary sendiri akhirnya meninggal pada usia 42 tahun dalam kondisi tanpa memiliki keturunan. Penyebab kematiannya diperkirakan akibat kanker rahim.

Di masa kini, selain dikenang akibat kekejaman dan cerita horor yang mencatut namanya, Mary juga dikenang sebagai satu dari sedikit orang yang pernah mengalami pseudocyesis (kehamilan semu). Dalam pseudocyesis, tubuh menunjukkan tanda-tanda seolah sedang hamil kendati tidak sedang mengandung.

Pendapat lain menyebut bahwa mungkin apa yang dialami Mary aslinya adalah endometrial hiperplasia, suatu kondisi yang kerap menjadi cikal bakal dari kanker rahim. Dasar dari diajukannya pendapat ini adalah karena semasa hidupnya, Mary dilaporkan memiliki selera makan rendah dan tidak memiliki siklus menstruasi yang tetap. 

Hantu Bloody Mary

Apapun penjelasan yang benar, pada akhirnya Mary kini lebih dikenang dengan kekejamannya. Anak-anak Inggris yang ingin menguji nyalinya bakal ditantang untuk menyebutkan namanya sambil memasuki ruangan gelap dengan hanya dibekali cahaya lilin. Tanpa tahu bahwa di balik cerita seram yang menyelimuti dirinya, Mary aslinya hanyalah sosok manusia biasa yang ingin hidup sebagai bagian dari keluarga bahagia.

Sumber :
https://allthatsinteresting.com/bloody-mary