Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Metode Pengobatan Barbar Masih Dipraktekan Hingga Sekarang

Kemajuan teknologi menyebabkan teknik pengobatan yang digunakan oleh manusia menjadi kian canggih dan modern. Namun hal tersebut tidak lantas menyebabkan praktik pengobatan tradisional ditinggalkan sama sekali, misalnya praktik pengobatan dengan memakai hewan. Tidak jarang hewan yang digunakan untuk keperluan ini adalah hewan-hewan yang lazimnya dianggap menjijikan dan berbahaya bagi manusia. Berikut ini adalah 3 contoh terapi pengobatan tradisional memakai hewan yang masih dipraktikkan hingga sekarang:

Penyembuhan Luka Memakai Belatung

Penyembuhan Luka Memakai Belatung

Mendengar nama belatung, maka orang biasanya bakal langsung memasang tampang jijik. Pasalnya hewan yang aslinya merupakan fase larva dari lalat ini lazimnya dijumpai di tempat-tempat kotor semisal di tempat sampah dan bangkai hewan. Namun di luar stigmanya sebagai hewan yang menyukai hal-hal menjijikan, ternyata belatung juga dianggap bermanfaat bagi dunia medis manusia.
Jika dibandingkan dengan metode pengobatan memakai lebah, metode pengobatan memakai belatung tergolong sebagai metode yang relatif baru. Pasalnya menurut Ronald Sherman (ahli penyakit dalam dari Yayasan Bioterapi, Edukasi, dan Riset di Irvine, California), penggunaan belatung untuk terapi pengobatan baru mulai berlangsung sejak satu abad terakhir. 

Terapi belatung sendiri dilakukan dengan cara menaruh belatung pada luka terbuka. Meskipun terdengar bikin mual dan bulu kuduk merinding, ternyata ada alasan tersendiri kenapa belatung dianggap efektif dalam mengobati luka. Menurut kesaksian dokter yang menangani korban luka di medan perang, mereka yang lukanya dihinggapi oleh lalat-lalat yang meninggalkan telurnya ternyata lukanya sembuh lebih cepat dibandingkan mereka yang tidak.

Temuan tersebut ditanggapi secara serius oleh pakar kesehatan Johns Hopkins. Maka, pada tahun 1928 ia membuat peternakan belatung sendiri sambil memastikan kalau belatung-belatung yang diproduksinya senantiasa berada dalam kondisi bebas kuman penyakit. 

Di AS sendiri, FDA baru mengeluarkan izin resmi penggunaan belatung sebagai terapi pengobatan pada tahun 2004. Dalam izin resmi yang dirilisnya, FDA membolehkan penggunaan belatung untuk mempercepat penyembuhan luka yang lama sembuhnya. Misalnya luka yang diderita penderita diabetes dan borok, luka bekas operasi, hingga luka bakar akut.

Saat seorang pasien menjalani terapi belatung, dokter atau petugas medis akan menaruh belatung pada permukaan luka, lalu menutupinya dengan semacam kain selama 2 hari. Saat berada di luka, belatung akan menghasilkan enzim pencernaan yang bisa membantu menguraikan sel dan jaringan mati pada luka. 

Terapi pengobatan memakai belatung sempat ditinggalkan pada tahun 1950-an akibat maraknya metode pengobatan memakai antibiotik. Namun sejak permulaan abad ke-21, sebagai akibat dari semakin meningkatnya kekebalan bakteri terhadap obat serta antibiotik, terapi belatung mulai kembali dilirik sebagai salah satu metode pengobatan alternatif.

Meskipun potensial, terapi pengobatan memakai belatung tidak serta merta langsung bangkit. Pasalnya di mata masyarakat luas, belatung masih identik dengan kematian serta hal-hal yang bersifat menjijikan. “Budaya kita menyamakan belatung dengan kematian, kotoran anjing, dan timbunan sampah,” keluh Sherman.

Terapi Sengatan Lebah

Terapi Sengatan Lebah

Apakah anda pernah disengat oleh lebah? Jika ya, maka anda pasti tahu seberapa menyakitkannya sengatan yang ditimbulkan oleh serangga ini. Biarpun kecil, lebah sangat dikenal berkat sengatannya yang amat menyakitkan. Terlebih lagi, setiap kali lebah menyengat manusia, maka sengatnya akan tertinggal di kulit korbannya. Jadi selama sengatnya terus menancap, selama itu pula rasa sakitnya akan terus berlanjut.

Biarpun menyakitkan, ternyata sengatan lebah juga dianggap bermanfaat. Metode pengobatan dengan memakai sengatan lebah dikenal dengan sebutan terapi racun lebah. Kendati terdengar aneh, praktik ini ternyata sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Di masa Yunani Kuno, pakar kesehatan Hippocrates mempercayai kalau racun lebah bisa membantu meringankan gejala arthritis dan radang sendi lainnya.

Pernyataan Hippocrates tersebut bukanlah pernyataan yang tidak ada dasar ilmiahnya. Menurut hasil penelitian yang diterbitkan oleh jurnal Molecule pada tahun 2016, racun lebah diketahui mengandung melittin, senyawa kimia yang berguna untuk melawan peradangan. 

Di masa kini, terapi memakai sengatan lebah diklaim bisa membantu menghilangkan rasa sakit serta bengkak pada penderita arthritis, mencegah orang gampang sakit, menghilangkan rasa mudah lelah, dan bahkan mencegah seseorang mengalami lumpuh akibat gangguan syaraf akut (sklerosis). Namun pertanyaannya, apakah terapi sengata lebah memang seefektif itu?

Jika kita bertanya pada FDA selaku lembaga yang memberikan izin resmi terhadap peredaran obat dan makanan di AS, maka jawabannya adalah tidak. Pasalnya hingga sekarang, FDA masih enggan menerbitkan izin resmi atas metode pengobatan memakai sengat lebah. Salah satunya karena masih minimnya kajian ilmiah mengenai kaitan langsung antara racun lebah dengan hilangnya gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit tertentu.

Alasan lain mengapa terapi sengat lebah masih diragukan efektifitasnya adalah karena terapi ini bisa menimbulkan efek samping yang fatal. Bagi orang biasa, dampak dari sengatan lebah adalah timbulnya rasa sakit yang bisa berlanjut hingga beberapa menit setelah sengatnya dicabut.

Namun bagi mereka yang menderita alergi terhadap racun lebah, dampak yang ditimbulkan bisa jauh lebih parah karena orang yang bersangkutan bisa menderita gangguan pernapasan dan bahkan meninggal. Meskipun begitu, kenyataannya di beberapa tempat metode pengobatan memakai sengatan lebah masih dipraktikkan sebagai salah satu bentuk metode pengobatan alternatif.

Lintah untuk Mengobati Penyumbatan Pembuluh

Lintah untuk Mengobati Penyumbatan Pembuluh

Lintah bukanlah makhluk yang normalnya bakal dibiarkan orang jika sampai menempel pada kulit. Pasalnya hewan yang bentuknya mirip cacing ini memiliki kebiasaan untuk menghisap darah korbannya.Yang lebih memusingkan lagi adalah jika seekor lintah sampai dicabut secara paksa dari kulit, maka luka orang tersebut masih akan terus mengucurkan darah hingga beberapa lama.

Kemampuan lintah untuk menempel pada manusia dan menghisap darahnya ditunjang oleh keberadaan penghisap pada bagian kepala dan ekornya. Berkat keberadaan penghisap ini, lintah bisa menempel kuat-kuat pada korbannya tanpa khawatir bakal jatuh. Lintah juga memiliki gigi pada mulutnya supaya ia bisa membuat luka pada kulit korbannya.

Hal-hal tadi lantas membuat lintah dianggap sebagai hewan yang berguna untuk keperluan bloodletting, sebuah praktik pengobatan dengan cara melukai dan mengeluarkan darah korban secara paksa. Praktik bloodletting diketahui sudah dipraktikkan oleh manusia sejak era Sebelum Masehi.

Maju ke abad ke-21, praktik bloodletting memakai lintah mulai diakui oleh dunia medis modern setelah FDA memberikan izin resmi penggunaan lintah untuk mengobati penyumbatan urat darah, suatu kondisi di mana darah yang berkumpul di lokasi tubuh tertentu tidak bisa dipompa kembali menuju jantung.

Penyumbatan urat darah sendiri lazimnya terjadi sesudah operasi penyambungan anggota tubuh (misalnya jari tangan) atau operasi rekonstruksi pada anggota badan tertentu (misalnya payudara). Dengan menggunakan lintah, darah bisa dikeluarkan dari lokasi dilakukannya operasi hanya dalam rentang waktu 45 menit sehingga oksigen bisa mencapai lokasi tadi dengan lebih mudah.

Alasan kenapa lintah yang digunakan untuk keperluan ini adalah karena lintah memiliki zat antibeku dalam air liurnya. Zat ini pulalah yang menyebabkan luka akibat gigitan lintah masih terus mengucur kendati lintahnya sudah dicabut.

Penggunaan lintah untuk keperluan ini sendiri bukanlah tanpa kelemahan. Sebagai akibat dari sifat air liur lintah tersebut, pasien yang menerima metode ini beresiko mengalami anemia atau kekurangan sel darah merah. Luka hasil gigitan lintah juga beresiko dimasuki oleh kuman penyakit berbahaya.

Sumber :
https://www.livescience.com/55667-barbaric-medical-treatments-still-used.html