Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Dokter di Eropa Melihat dan Meminum Air Kencing Pasien Guna Mengetahui Penyakitnya

Pernahkah anda memeriksakan diri ke rumah sakit, lalu dokter kemudian meminta air kencing anda? Walaupun terkesan menjijikan, praktik macam itu tetap dirasa perlu karena air kencing mengandung zat-zat sisa metabolisme yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh. Dengan menganalisa zat-zat tersebut, dokter pun kemudian bisa memperkirakan apa yang salah pada tubuh pasiennya.

Kegiatan menganalisa air kencing atau urine di masa kini dilakukan di laboratorium dengan peralatan yang canggih dan steril. Namun ternyata praktik menganalisa penyakit dengan memakai air kencing sudah terjadi sejak lama. Manusia diketahui sudah menyadari pentingnya air kencing untuk menganalisa penyakit sejak berabad-abad yang lalu. Di bidang medis, ilmu menganalisa air kencing sendiri dikenal dengan istilah urinalisis.

Gambaran Air Kencing

Buku Ephiphanie Mediocrum adalah salah satu bukti nyata kalau manusia pada masa lampau sudah melakukan analisa pada air kencing untuk mendiagnosa penyakit. Buku tersebut adalah buku hasil karya Ulrich Pinder yang diterbitkan di Nuremberg, Jerman, pada tahun 1506. 

Dalam salah satu halaman buku, lembaran kirinya menampilkan gambar cakram dan botol berisi cairan yang warnanya berbeda satu sama lain. Di sisi kanan, terdapat gambar botol yang juga berisi cairan berwarna-warni. Namun kali ini di sisi kanan masing-masing gambar botol terdapat tulisan berisi penjelasan lebih detail mengenai makna warna-warna tersebut. Cairan berwarna-warni tersebut dimaksudkan untuk mengilustrasikan air kencing manusia.

Praktik mendiagnosa penyakit dengan memeriksa air kencing penyakit memang sudah dikenal sejak berabad-abad sebelumnya. Namun saat buku Ephiphanie Mediocrum diterbitkan, urinalisis tengah menyongsong puncak popularitasnya di Eropa. 

Saking populernya urinalisis pada masa itu, orang-orang bisa mengira-ngira sendiri penyakit yang sedang dideritanya hanya dengan melihat warna air kencingnya. Dan buku Ephiphanie Mediocrum menjadi satu dari sekian banyak literatur yang diandalkan oleh masyarakat pada masa itu untuk melakukan diagnosa penyakit secara mandiri.

Walaupun lebih praktis dibandingkan harus berobat langsung ke dokter, urinalisis tetaplah memiliki kelamahan. Sahabat anehdidunia.com karena teknologi percetakan pada masa itu masih belum semaju sekarang, gambar yang tercetak pada buku kadangkala tidak sesuai dengan keinginan pembuat bukunya. 

Buku yang disertai dengan gambar sendiri pada masa itu memang tergolong masih langka di Eropa. “Untuk mencetak gambar di buku memerlukan perencanaan matang, waktu, dan biaya tambahan,” jelas Caroline Duroselle-Melish, pengelola Perpustakaan Folger Shakespeare. “Gambar ada bukan semata-mata untuk hiasan. Menyisipkan gambar pada buku adalah semacam investasi penting.”

Sejak Era Sebelum Masehi
Praktik urinalisis sendiri ternyata sudah dikenal di Eropa sejak beberapa abad sebelumnya. Tepatnya di era Yunani Kuno. Menurut pakar medis Hippocrates, air kencing merupakan hasil saringan dari 4 elemen cairan yang menyusun tubuh manusia. Jika ada komposisi cairan yang tidak seimbang, maka orang itupun akan jatuh sakit.

Konsep mengenai 4 elemen cairan sudah dianggap tidak akurat berdasarkan standar kedokteran di masa kini. Namun Hippocrates pada waktu itu sudah berhasil menerka dengan cukup akurat kalau zat-zat yang terkandung dalam air kencing berasal dari darah yang disaring di ginjal. Hasil pemikiran Hippocrates mengenai ginjal ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Galen, pakar kedokteran dari masa Romawi Kuno.

analisa urin Abad ke15

Bangsa Eropa sendiri ternyata bukanlah satu-satunya bangsa yang mempraktikkan urinalisis pada masa lampau. Bangsa India diketahui juga sudah mengenal praktik ini pada era Sebelum Masehi. Menurut catatan berbahasa Sansekerta dari abad ke-1 SM, ada setidaknya 20 jenis air kencing berbeda beserta penyakit yang mungkin dikandungnya. 

Di Eropa sendiri, kendati urinalisis sudah dikenal sejak masa Sebelum Masehi, praktik ini baru mulai dilakukan secara luas pada Abad Pertengahan. Jika seseorang pada masa itu jatuh sakit, maka dokter akan meminta air kencing pasiennya. 

Seiring dengan kian populernya teknik urinalisis, seorang dokter sampai menciptakan gelas khusus untuk menampung sampel air seni pada abad ke-12. Sahabat anehdidunia.com dalam perkembangannya, gelas tersebut menjadi semacam benda yang wajib dimiliki oleh para dokter. Sampai-sampai hampir setiap dokter di Eropa memiliki gelas air seninya masing-masing.

Pemeriksaan air kencing yang dilakukan oleh para dokter di Eropa bukan hanya dilakukan dengan melihat warnanya. Jika diperlukan, mereka juga akan mencicipi air kencing tersebut (huek!). Jika air kencingnya terasa manis misalnya, maka berarti pasien menderita diabetes. Sementara jika air kencingnya terlihat keruh, itu berarti sang pasien mungkin mengalami dehidrasi atau infeksi dalam.

Supaya ada pustaka yang bisa digunakan untuk keperluan diagnosa dan pendidikan, buku panduan mengenai urinaliasis pun mulai dibuat dan dicetak secara massal. Pada awalnya buku ini hanya dibuat dalam bahasa Latin, sehingga hanya mereka yang mengenyam pendidikan tinggi yang bisa menggunakannya.

Menjamurnya Pakar Gadungan
Namun dalam perkembangannya, buku tersebut lantas diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain. Salah satunya bahasa Jerman seperti yang terlihat pada buku Ephiphanie Mediocrum yang sudah dibahas di bagian awal artikel ini. Diterjemahkannya buku panduan urinalisis tersebut ke dalam bahasa lain lantas membuat kian banyak orang yang memiliki akses bahan bacaan terkait urinalisis.

Kian terbukanya akses terhadap buku-buku bertopik urinalisis di sisi lain juga membawa dampak negatif. Kini orang-orang yang tidak memiliki pendidikan formal di bidang kedokteran sekalipun berani membuka praktik pengobatannya sendiri hanya dengan bermodalkan buku panduan urinalisis.

analisa air kencing

Hal ini lantas menimbulkan masalah. Pasalnya para dokter gadungan ini hanya melakukan diagnosa berdasarkan air kencing pasiennya tanpa disertai dengan pemeriksaan lain. Ada pula kasus di mana dokter gadungan ini hanya meminta air kencing pasiennya dan kemudian menyimpulkan penyakit pasiennya, tanpa menemui langsung pasien pemilik air kencing tersebut. Padahal seperti yang sudah disinggung sebelumnya, buku yang menjadi rujukan mereka tidak selalu menyediakan informasi yang akurat akibat warna hasil cetaknnya yang seringkali tidak akurat.

Yang lebih memusingkan lagi adalah tidak jarang buku yang sama menampilkan informasi warna air kencing yang tidak konsisten. Jadi jika dalam salah satu halaman air kencing dan penjelasan penyakitnya ditampilkan dalam warna kehijauan, maka pada halaman lain pembahasan mengenai air kencing yang sama justru malah menampilkan warna yang berbeda.

Masalah itu sendiri bisa terjadi akibat belum adanya standar yang jelas mengenai pewarnaan yang digunakan pada buku. Sahabat anehdidunia.com kendati sejumlah penerbit buku sudah memberikan informasi yang jelas mengenai bagaimana warnanya hendak ditampilkan, instruksi tersebut tidak selalu dipatuhi oleh pembuat gambar ilustrasinya. 

Akibatnya sudah bisa ditebak. Saat seseorang nekat membuat diagnosa penyakit hanya dengan melihat air kencingnya, maka diagnosa yang dihasilkan menjadi tidak akurat. Pada akhirnya, jika seseorang pada masa itu benar-benar ingin menjadi pakar diagnosa penyakit, maka ia tidak bisa hanya mengandalkan buku dan harus menempuh pendidikan formal berbahasa Latin juga.

Di masa kini, meneliti air kencing memang masih digunakan sebagai salah satu cara untuk mengetahui kondisi seseorang. Misalnya untuk mengetahui apakah orang tersebut pernah mengkonsumsi obat-obatan terlarang atau tidak. Namun tidak seperti urinalisis di Abad Pertengahan, hanya mereka yang pernah menerima pendidikan formal yang boleh melakukan tesnya.

credit:
https://www.atlasobscura.com/articles/chart-urine-manuscript-medical-history