Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Taukah Kamu Di Jepang Dulunya Memakan Daging Adalah Hal Terlarang

Bagi banyak orang, hidangan yang terbuat dari daging merupakan hidangan yang amat lezat. Entah itu rendang, gulai, sate, daging goreng, dan sebagainya. Karena hidangan berbahan daging banyak penggemarnya, hidangan ini pun amat mudah ditemukan di rumah-rumah makan.

Hal serupa juga berlaku di Jepang. Makanan hasil olahan daging merupakan makanan yang banyak digemari. Namun lain halnya jika kita mundur hingga beberapa abad sebelumya. Pasalnya pada masa tersebut, memakan hidangan berbahan daging dianggap sebagai hal yang tabu. Apa penyebabnya?

Daging Tabu Di jepang

Untuk menjawab hal tersebut, maka kita harus mundur hingga lebih dari serbi tahun yang lalu. Pada abad ke-6, untuk pertama kalinya agama Buddha masuk ke wilayah Jepang melalui Korea. Masuknya agama Buddha sekaligus membawa pengaruh bagi penduduk Jepang yang pada waktu masih banyak yang mengkonsumsi daging, khususnya daging rusa dan babi liar.

Menurut pandangan agama Buddha, manusia yang sudah meninggal memiliki peluang untuk bereinkarnasi menjadi makhluk lain di kehidupan berikutnya, termasuk sebagai hewan. Oleh karena itulah, pemuka agama Buddha menganjurkan pengikutnya untuk tidak mengkonsumsi daging karena bisa saja hewan yang dagingnya mereka konsumsi aslinya adalah hasil reinkarnasi manusia atau bahkan nenek moyang mereka sendiri.

Jika ada penganut Buddha yang sampai mengkonsumsi daging, maka orang tersebut diharuskan berpuasa selama 100 hari untuk menebus kesalahannya. Secara perlahan tapi pasti, praktik mengkonsumsi daging pun mulai banyak ditinggalkan oleh orang Jepang seiring dengan semakin mengakarnya agama Buddha dalam kehidupan masyarakat Jepang. 

Bukan cuma penganut agama Buddha yang menghindari konsumsi daging. Penganut agama Shinto yang isi ajarannya banyak terpengaruh Buddha juga turut mengadopsi pandangan serupa. Memasuki tahun 675, Kaisar Tenmu bahkan sampai mengeluarkan perintah resmi supaya tidak ada penduduk Jepang yang memakan daging sapi, kuda, anjing, dan ayam.

Awalnya larangan untuk mengkonsumsi daging hewan-hewan tadi hanya berlangsung pada musim panen di bulan April hingga September. Namun belakangan, larangan tersebut dikembangkan lebih jauh sehingga rakyat Jepang tidak boleh lagi mengkonsumsi makanan berbahan daging sepanjang tahun. 

Hukuman bagi mereka yang memakan daging bervariasi tergantung dari daging hewan apa yang mereka makan. Jika yang dimakan adalah daging serigala, kambing, kelinci, atau rakun, maka orang tersebut diharuskan melakukan pertobatan selama 5 hari sebelum kemudian berkunjung ke kuil.

Jika yang dimakan adalah daging babi, maka hukumannya menjadi lebih berat dan orang tersebut diharuskan melakukan pertobatan selama 2 bulan penuh. Namun jika yang dimakan adalah daging sapi dan kuda, hukumannya menjadi 5 bulan. 

Walaupun diberlakukannya peraturan tersebut secara teoritis menjadikan Jepang sebagai negara yang penduduknya tidak mengkonsumsi daging sama sekali, kenyataan di lapangan menunjukkan kalau konsumsi makanan berbahan daging merah masih tetap berlangsung. Kaisar Jepang diketahui kerap menerima upeti dalam wujud daging babi dan sapi sehingga praktik mengkonsumsi daging diperkirakan masih tetap berjalan di lingkungan istana. 

Bukan hanya kaisar Jepang yang kerap menerima kiriman upeti dalam wujud daging. Pada abad ke-18, klan Hikone diketahui kerap mengirimkan upeti kepada shogun – semacam gelar untuk panglima militer tertinggi Jepang – dalam wujud daging sapi yang disertai dengan minuman sake.

Daging juga dikonsumsi oleh rakyat biasa dalam kondisi-kondisi tertentu. Sebagai contoh, ketika seseorang jatuh sakit, tidak jarang dokter menganjurkan pasiennya mengkonsumsi daging sebagai bagian dari metode pengobatan. Saat penduduk Jepang terpaksa mengkonsumsi daging karena, mereka akan memasaknya di luar rumah dan sebisa mungkin tidak melihat langsung tungku yang digunakan untuk memasak dagingnya.

Meskipun masyarakat Jepang pada masa itu memang memandang konsumsi daging merah sebagai hal yang tabu dan bahkan terlarang, mereka cenderung bersifat lebih toleran terhadap makanan berbahan daging unggas. Daging yang terbuat dari ikan dan mamalia laut semisal lumba-lumba juga masih tetap dikonsumsi secara luas.

metropolitan art

Namun apakah faktor agama menjadi satu-satunya alasan mengapa kaisar sampai melarang rakyatnya mengkonsumsi daging hewan ternak? Kalau menurut sejarawan Naomishi Ishige, faktor lingkungan dan budaya menjadi penyebab lain dikeluarkannya larangan tersebut. 

Sebelum agama Buddha masuk ke Jepang, masyarakat Jepang memang sudah mengkonsumsi daging merah. Namun daging hanyalah menu sampingan karena menu utama mereka sehari-hari adalah nasi dengan lauk ikan. Fenomena yang muncul sebagai akibat dari kondisi Jepang yang berbentuk negara kepulauan dan lahannya terbatas. 

Supaya ada cukup lahan untuk menanam tanaman pangan, larangan untuk mengkonsumsi hewan ternak pun dikeluarkan supaya lahannya tidak digunakan untuk memelihara hewan ternak potong. Kalaupun ada hewan ternak macam sapi yang dipelihara, tujuannya agar hewan tersebut bisa digunakan untuk menarik pembajak sawah.

Kebiasaan orang Jepang untuk menghindari konsumsi daging merah pada akhirnya sampai juga ke telinga orang-orang Eropa yang baru pertama kali memasuki Jepang. Saat para misionaris Portugal datang ke Jepang, mereka diberitahu kalau orang Jepang enggan mengkonsumsi daging sapi dan susu. 

Meskipun begitu, saat orang-orang Portugal memperkenalkan hidangan khas negara mereka yang terbuat dari daging, tetap ada orang Jepang yang menunjukkan ketertarikan. Tempura contohnya. Makanan tersebut metode penyajiannya banyak terpengaruh oleh metode pengolahan daging bangsa Portugal.

Selama berabad-abad, konsumsi daging merah di Jepang merupakan hal yang amat jarang terjadi di Jepang. Namun hal tersebut pada akhirnya berubah menyusul timbulnya peristiwa Restorasi Meiji di abad ke-19. Salah satu dampak utama dari timbulnya restorasi tersebut adalah lebih terbukanya masyarakat Jepang terhadap produk budaya yang berasal dari luar negaranya, tak terkecuali soal makanan.

Tokoh-tokoh di pemerintahan Meiji meyakini kalau penduduk Jepang memiliki fisik yang lebih lemah dibandingkan orang Barat sebagai akibat dari keengganan mereka mengkonsumsi daging merah dan susu. Oleh karena itulah, selain mencabut larangan mengkonsumsi daging merah, rezim Meiji juga giat menganjurkan orang-orang untuk mulai mengkonsumsi daging.

Untuk mendorong rakyat Jepang supaya mereka mulai sering-sering mengkonsumsi, Kaisar Jepang sampai melakukan acara makan daging di depan umum untuk menyambut Tahun Baru 1872. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang produksi susu dan daging potong juga banyak didirikan di era Meiji.

Upaya gigih rezim Meiji sendiri bukanlah upaya yang sama sekali tidak menemui batu sandungan. Karena praktik menghindari konsumsi daging adalah praktik yang sudah berlangsung begitu lama di Jepang, penolakan gencar pun langsung ditunjukkan oleh kalangan agamawan setempat.

Pada bulan Februari 1872, sejumlah biksu Jepang nekat menerobos masuk ke dalam istana untuk memprotes kebijakan kaisar yang membolehkan konsumsi daging. Dalam peristiwa tersebut, banyak biksu yang tewas akibat terlibat pergumulan dengan prajurit istana. Namun kaisar tetap kukuh pada pendiriannya. Praktik mengkonsumsi daging merah tetap dibiarkan berjalan.

Seiring berjalannya waktu, cara pandang masyarakat Jepang terhadap praktik mengkonsumsi daging merah pun secara berangsur-angsur berubah. Rumah-rumah makan yang menghidangkan daging terus bermunculan. Dampaknya, sekarang hidangan berbahan daging merah menjadi salah satu hidangan yang paling banyak dikonsumsi di Jepang selain hidangan berbahan ikan.

Credit referensi :
https://www.atlasobscura.com/articles/japan-meat-ban