Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bikin Penasaran dan Merinding, Berikut Perjuangan yang Harus Dilewati Untuk Mencapai Puncak Everest

Selain menjadi titik tertinggi di Bumi dengan ketinggian 29.000 kaki di atas permukaan laut, Gunung Everest juga menjadi salah satu tujuan pendakian yang paling dicari para pendaki gunung dan penggemar kegiatan alam. 

Meskipun tidak dianggap sebagai salah satu gunung paling berbahaya di Bumi, faktanya telah banyak para pendaki yang meninggal saat mencoba mencapai puncak Everest setiap tahunnya. Fakta cukup mengerikan ini pada akhirnya membuat banyak orang kerap bertanya-tanya, bagaimana rasanya mendaki gunung Everest, dan apakah hasil yang didapatkan akan sepadan.

Namun terlepas dari kengeriannya, Everest nyatanya telah menginspirasi banyak orang untuk mencapai puncaknya sejak pendaki Edmund Hillary dan Tenzing Norgay berhasil melakukannya pertama kali pada tahun 1953. 

Pencapaian tersebut pun mampu meromantisasi prestasi tertinggi manusia dalam menaklukkan alam dan mendorong batas mereka.

Namun jika memang penasaran dan tidak memiliki budget yang cukup untuk benar-benar mendaki puncak Everest, berikut kami telah merangkum deretan perjuangan yang harus dilewati untuk mencapai puncak gunung tertinggi di dunia ini.

1. Ekspedisi Penuh Memakan Waktu Dua Bulan

Ekspedisi Penuh Memakan Waktu Dua Bulan
Ekspedisi Penuh Memakan Waktu Dua Bulan via cnn.com

Tidak peduli seberapa banyak pengalaman mendaki gunung yang dimiliki seseorang, mencapai puncak gunung Everest tetap saja akan membutuhkan proses yang memakan waktu hampir dua bulan lamanya.

Faktanya, yang membuat waktu perjalanan menuju ke puncak bukanlah karena jauhnya rute yang harus ditempuh, karena berdasarkan rute yang ada, untuk melakukan perjalanan dari Base Camp menuju ke puncak ditambah dengan perjalanan kembali nyatanya hanya memakan waktu lima hari hingga seminggu.

Lantas apa yang membuat waktu perjalanan menjadi cukup lama? Hal tersebut adalah kewajiban para pendaki untuk menghabiskan waktu yang tidak sebentar di berbagai ketinggian Everest untuk tujuan menyusuaikan diri sebelum benar-benar mampu mendaki ke puncak.

John Beede yang merupakan salah satu pendaki terkenal mengatakan bahwa, hal yang mustahil untuk langsung menuju ke puncak Everest dalam sekali percobaan tanpa melakukan penyesuaian, karena hal tersebut sama saja mencari mati.

2. Rasanya Seperti Berlari di Treadmill dan Bernapas Melalui Sedotan

Rasanya Seperti Berlari di Treadmill dan Bernapas Melalui Sedotan
Rasanya Seperti Berlari di Treadmill dan Bernapas Melalui Sedotan via okezone.com

Meskipun sejumlah kecil pendaki gunung professional telah mendaki Gunung Everest tanpa oksigen tambahan, namun cukup banyak pendaki lainnya yang menganggap penggunaan alat seperti oksigen masuk akal dan penting untuk lebih meningkatkan peluang bertahan hidup. 

Namun, nyatanya permasalah oksigen tidak akan serta merta selesai dengan penggunaan alat, karena meskipun telah menggunakan oksigen tambahan, para pendaki tetap akan merasakan efek ketinggian yang cukup mengerikan.

 "Mendaki di atas 26.000 kaki, bahkan dengan oksigen tabung, sama saja seperti berlari di treadmill dan bernapas melalui sedotan. Sahabat anehdidunia.com semuanya saling menyuruh untuk berbalik. Semuanya berkata: Ini dingin, ini tidak mungkin," kata David Breashears salah satu pendaki puncak Everest.

3. Pemandangan Horor Mayat Pendaki Gunung Selama Perjalanan 

Pemandangan Horor Mayat Pendaki Gunung Selama Perjalanan
Pemandangan Horor Mayat Pendaki Gunung Selama Perjalanan via merinding.com

Perlu diketahui, setidaknya 11 orang meninggal di Gunung Everest pada tahun 2019 dan diperkirakan 295 orang lainnya menjadi total dari kasus pada tahun-tahun sebelumnya. Jumlah cukup horor ini pun memberikan para pendaki sekitar 1 : 100 peluang kehilangan nyawa saat melakukan pendakian.

Perhitungan tersebut nyatanya juga telah melalui prediksi cuaca modern dan perlengkapan luar ruangan yang mampu digunakan untuk meningkatkan peluang mendaki dan tetap turun hidup-hidup untuk menceritakan pengalaman selama melakukan pendakian.

Sehingga bukan hal aneh yang menjadi pemandangan horor yang cukup sering bagi beberapa pendaki yang melihat rekan sesama pendaki namun dalam bentuk tubuh tanpa nyawa.

Selain mayat para pendaki yang harapannya telah pupus, terkadang para pendaki pendaki yang masih berjuang juga harus siap menyaksikan sama rekannya yang telah merasakan ajal mendekat dengan  perasaan tidak nyaman, akibat tidak lagi mampu mengatasi tekanan Everest.

4. Resiko Tertimpa Es, Terjatuh, dan Memulai Pendakian Dalam Gelap

Khumbu Icefall
Khumbu Icefall via wikipedia


Perjalanan saat para pendaki naik dari Base Camp ke Camp 1 di sisi selatan Gunung Everest, mereka akan melewati gletser yang disebut sebagai Khumbu Icefall.

Area tersebut seringkali dideskripsikan sebagai air terjun es beku, celah besar, hingga 100 ton balok es yang dapat runtuh dan menimpa seseorang kapan saja. Belum lagi kehadiran jembatan salju yang rapuh, beresiko runtuh, dan bahaya longsoran salju yang selalu menghantui.

Jika hal tersebut juga masih belum cukup, maka bayangkan durasi waktu yang harus dilalui selama menaklukkan tempat tersebut. Bahkan dengan bergantung pada kemampuan pemanjat dan kondisi cuaca di sekitar, untuk mampu menyeberangi jurang es sejatinya dapat memakan waktu tiga hingga delapan jam penuh horor.

5. Kemungkinan Mengalami Pembengkakan Otak dan Paru-paru

Kemungkinan Mengalami Pembengkakan Otak dan Paru-paru
Kemungkinan Mengalami Pembengkakan Otak dan Paru-paru via pikiran-rakyat.com

Salah satu hal cukup normal yang sering menimpa para pendaki Everest adalah munculnya penyakit akut berupa pembengkakan otak hingga paru-paru selama proses pendakian berlangsung sehingga mampu menyebabkan sakit kepala, lesu, hingga lemas.

Lebih berbahanya lagi begitu memasuki Death Zone menuju puncak Everest, penyakit ini pun mampu berpotens menjadi cukup fatal, bahkan setelah menjalani aklimitisasi.

Resiko ini bahkan akan diikuti oleh resiko stroke, serangan jantung, edema paru, sehingga mengakibatkan sesak napas, batuk cairan, hingga perasaan tercekik.

Yang paling parah, kondisi edema bahkan mampu mempengaruhi otak seseorang sehingga mengalami kurang oksigen, hal ini pun berujung pada halusinasi, mengigau, hingga melakukan sesuatu di luar kewajaran, seperti melepaskan baju di tengah-tengah cengkaraman angin salju yang menggigit.

6. Kengerian Sebenarnya Saat Berada di Death Zone

Kengerian Sebenarnya Saat Berada di Death Zone
Kengerian Sebenarnya Saat Berada di Death Zone via daily.jstor.id

Death Zone merupakan area antara titik tengah dan puncak Everest yang disebut sebagai Zona Kematian. Nama tersebut cukup beralasan mengingat keberadaan udara yang sangat tipis dan sangat kurang akan oksigen, sehingga tubuh manusia tidak akan dapat berfungsi secara normal di titik ini.

Tabung oksigen pun menjadi satu-satunya senjata untuk melewati death zone, namun bahkan dengan kehadiran tabung oksigen, seorang pendaki tidak akan benar-benar aman selama berada di death zone. Jumlah tabung yang terbatas, aliran yang harus dijaga rendah, menjadi alasan zona ini disebut sebagai ajang perlombaan hidup atau mati melawan waktu bagi para pendaki.

Sebagai gambaran, keadaan hipoksia atau oksigen rendah dan berbahaya akan langsung menyapa begitu pendaki memasuki death zone. Resiko efek kesehatan yang rusak akibat keadaan ini pun berada di depan mata. Sehingga melewati daerah ini secepatnya, dan dalam keadaan tidak buru-buru karena akan menghabiskan persediaan oksigen menjadi satu hal mustahil yang harus dilakukan.

7. Waspada Akan Adanya Kehadiran Pencuri

Waspada Akan Adanya Kehadiran Pencuri
Waspada Akan Adanya Kehadiran Pencuri via detik.com

Peringatan tersebut nyatanya tidak hanya menjadi lelucon belaka, karena bahkan orang dengan martabat cukup rendah akan mempertanyakan tindakan pencurian yang dilakukannya dalam kondisi brutal di tengah-tengah pendakian menuju puncak Everest.

Namun faktanya pencurian benar-benar cukup sering terjadi ketika tengah melakukan perjalanan menuju puncak Everest. Berbagai barang yang cukup penting untuk bertahan hidup seperti tabung oksigen, hingga makanan kalengan, merupakan sesuatu yang harus dijaga betul, atau akan hilang begitu saja akibat tangan-tangan nakal mereka yang egois.

Sebagai tindak pencegahan, beberapa pendaki memilih untuk mengunci oksigen yang mereka miliki, dan menyerahkan kode pembukanya pada sherpa atau penunjuk jalan.

Ketika nantinya tabung oksigen ini dibutuhkan, barulah sang pemilik tabung akan menghubungi sherpa yang memiliki kode pembuka melalui radio untuk dapat membuka kunci tabung dan menggunakannya.

Sumber :

https://www.ranker.com/list/what-its-like-to-climb-everest/erin-mccann?ref=browse_list