Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal-usul THR Dari Sosok Pencetus Hingga Kontroversi Yang Pernah Muncul

Apa Sebenarnya THR? THR atau "Tunjangan Hari Raya" merupakan salah satu hal yang paling dinanti kebanyakan Masyarakat Indonesia, terutama menjelang Lebaran. Dengan meningkatnya kebutuhan menjelang hari raya, THR dirasa sebagai tambahan nafas bagi para pekerja untuk mencukupi kebutuhan hari raya mereka. Selama ini masyarakat biasanya menganggap THR bonus extra, karena diberikan dengan nominal yang sama dengan gaji bulanan. Jadi seolah-olah kita mendapatkan gaji double dalam satu bulan.

Tapi meski tergolong sebagai hal yang paling dinantikan menjelang hari raya, tak banyak yang tahu mengenai asal usul dan bagaimana uang ekstra untuk para pekerja ini mulai dirancang. Nah cerita unik seputar asal usul THR inilah yang kali ini akan anehdidunia.com bagikan kisahnya kali ini, berikut ulasanya..

Sejarah Munculnya THR


THR pertama kali muncul pada tahun 1950an, tepatnya pada masa pemerintahan Presiden pertama Indonesia, Soekarno. THR pertama kali di usulkan oleh kabinet yang dipimpin oleh Soekiman Wirjosandjojo dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan para "Pamong Praja" (sebutan PNS saat itu). Soekiman mengajukan usulan pada Presiden untuk memberikan tunjangan pada para aparat negara pada akhir bulan Ramadhan. 

Pada awal pelaksanaanya, kabinet memberikan tunjangan kepada para pegawai dengan nominal antara 125 hingga 200 rupiah. Nominal ini mungkin terlihat kecil, tapi jika kita ukur dengan kurs dollar saat ini dan tingkat kenaikan inflasi selama 50 tahun terakhir maka uang THR yang diberikan saat itu sama nilainya sekitar 1.000. 000 hingga 2.000.000  rupiah. selain uang saat itu THR juga kadang dibagikan dalam bentuk Beras.

Kebijakan uang tunjangan dari kabinet Soekiman inilah yang menjadi cikal bakal THR yang kita kenal saat ini.

Pernah Memicu Kontroversi


Berbeda dengan saat ini dimana THR bisa dinikmati oleh seluruh kalangan pekerja. Dulu pembagian THR hanya berlaku pada lingkup aparat pemerintah saja, hal ini tentu memicu kecemburuan pada kalangan buruh yang merasa telah bekerja keras untuk perusahaan swasta pemerintah. Merasa nasibnya tak diperhatikan oleh pemerintah, komunitas buruh saat itu kemudian melancarkan protes dengan melakukan aksi mogok kerja. Dalam aksi unjuk rasa yang digelar pada 13 Februari 1952 tersebut para buruh menutut agar mereka juga diberikan tunjangan menjelang akhir bulan Ramadhan.

Para buruh kala itu juga mengganggap kabinet Soekiman pilih kasih karena hanya memberikan THR pada PNS saja. Hal ini bahkan memunculkan sentimen negatif terhadap pemerintah yang dianggap tak pro rakyat. Pada masa itu aparatur negara biasanya memang di isi oleh kalangan priyayi atau golongan atas lainya. Hal ini membuat buruh yang mayoritas berasal dari warga biasa merasa di anak tirikan.

Perjuangan buruh untuk mendapatkan kesetaraan dalam hal pemberian THR ini sendiri baru bisa dibilang berhasil pada tahun 1960an, setelah Menteri Perburuhan saat itu Ahem Erningpradja, dari kalangan nasionalis, menetapkan THR sebagai hak penuh buruh. Sejak saat itu setiap pekerja yang sudah bekerja sekurang-kurangnya tiga bulan berhak untuk mendapatkan THR. Peraturan ini sendiri diresmikan pada tahun 1961, lewat Peraturan Resmi Menteri Perburuhan No. 1.

Sejak saat itu meski belum ada dalam undang-undang, pemberian THR untuk pekerja merupakan hal yang wajib bagi pengusaha dan pemerintah.

Nuansa Politik Dalam Pemberian THR


Sejak awal kemunculanya pemberian THR tak pernah lepas dari nuansa politik. Setidaknya hal inilah yang diutarakan oleh beberapa sejarawan, salah satunya Bonnie Triyana yang mengungkapkan jika dalam sejarahnya pemberian THR sering kali dimanfaatkan sebagai salah satu strategi politik.

Dugaan ini bahkan sudah muncul sejak lama, ketika Soekiman Wirjosandjojo yang pertama kali mencetuskan pemberian THR, tak lama kemudian juga ditugaskan untuk menyiapkan pemilihan umum pada tahun 1952.

Hal ini memunculkan prasangka bahwa pemberian THR pada Pamong Praja yang kala itu didominasi oleh kalangan ningrat dari Parta Nasional Indonesia (PNI) merupakan upaya politis, Soekiman yang berasal dari partai Masyumi untuk mengambil hati Pamong Praja agar terus mendukung kabinet yang ia pimpin.

Strategi yang sama juga masih bisa kita lihat saat ini, dengan adanya peraturan dari pemerintah yang berkuasa yang meningkatkan jumlah THR setiap kali menjelang pemilu. Hal ini setidaknya sudah 2 kali kita lihat pada pemerintahan SBY periode pertama dan juga pemerintah Jokowi baru-baru ini yang mengumumkan peningkatan nominal THR bagi PNS dan bahkan pemberian THR Pensiunan.

THR Baru Resmi Jadi Undang-undang Tahun 1994


Meski sudah menjadi peraturan resmi sejak tahun 1960an, THR ternyata baru resmi menjadi Undang-undang pada tahun 1994 yang lalu. Keputusan ini sendiri dituangkan dalam eraturan Menteri Tenaga Kerja R.I No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.

Dalam peraturan ini dijelaskan jika perusahaan atau pengusaha wajib memberikan THR pada karyawan yang telah bekeja selama 3 bulan tanpa terputus atau lebih, dengan besaran nominal THR yang disesuaikan dengan masa kerja. Sedangkan bagi karyawan yang telah bekerja selama lebih dari 12 bulan atau 1 tahun secara terus menerus akan mendapatkan THR sebesar 1x gaji bulanan.

Undang-undang tentang THR ini kemudian mengalami beberapa revisi diantaranya pada tahun 2003 dan yang terakhir pada 2016 yang lalu. Pada revisi terakhir ini yang tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan No.6/2016, terdapat beberapa perubahan yang signifikan. Perubahan ini adalah tentang masa kerja minimal seorang karyawan untuk bisa mendapat THR. Jika dulu minimal seorang karyawan harus bekerja sekurang-kurangnya 3 bulan untuk bisa mendapatkan tunjangan hari raya. Maka sekarang bahkan pekerja yang baru bekerja satu bulan pun sudah bisa mendapat THR. Selain itu tak hanya karyawan tetap saja yang berhak mendapatkan THR, mulai tahun 2016 bahkan karyawan honorer juga berhak untuk menerima THR.

Teori Lain Seputar Asal-usul THR


Selama ini kita menganggap THR sebagai bonus atau bahkan mungkin kado jelang hari raya. Namun beberapa tahun lalu sempat muncul teori seputar asal usul THR yang cukup menghebohkan masyarakat. Dalam Postingan yang berjudul "Asal Usul THR" terdapat sebuah teori mengenai perhitungan THR yang sebenarnya. Dalam Teori tersebut disebutkan jika THR sebenarnya bukan bonus, terutama untuk kalangan pekerja, THR sebenarnya hanyalah gaji karyawan yang selama ini ditahan oleh kantor.

Hitung-hitungan dapam postingan tersebut kurang lebih seperti ini, "Misalkan Gaji per-bulan: Rp.5 Juta. Maka Gaji per-minggu : Rp 1,25 juta. (Sebulan ada 4 minggu, sehingga 5 juta dibagi 4 = 1,25 juta). Dalam setahun ada 52 minggu. Gaji 1 tahun = 12 bulan x 5 juta = 60.000.000.000. Gaji 1 tahun + gaji 52 minggu = 52×1,25 juta = 65 juta. Selisih = Rp 5.000.000, inilah yang dihadikan THR atau gaji ke-13."

Bagaimana sahabat anehdidunia.com, menurut kalian apa teori ini ada benarnya?

Refensi:
http://kabarburuh.com/2016/06/13/sejarah-munculnya-tunjangan-hari-raya-di-indonesia/
https://news.detik.com/berita/4052789/pemberian-thr-sempat-dituding-bermuatan-politis
https://www.boombastis.com/asal-usul-thr/110345