Terungkap, Meteorit yang Memunahkan Dinosaurus Ternyata Juga Menimbulkan Tsunami Raksasa
Ratusan juta tahun yang lalu, makhluk-makhluk raksasa mengusai permukaan Bumi ini. Makhluk-makhluk itu tidak lain adalah dinosaurus. Namun akibat hantaman meteorit raksasa, timbul bencana alam dahsyat yang kemudian memusnahkan seluruh dinosaurus dari planet ini. Namun ternyata dampak yang ditimbulkan oleh meteorit tersebut bukan hanya itu. Meteorit yang sama diketahui juga menimbulkan tsunami raksasa.
Meteorit yang menjadi penyebab punahnya dinosaurus sendiri diperkirakan menghantam Bumi kurang lebih 65 juta tahun yang lalu. Dengan melihat dampak yang ditimbulkan dan bekas lokasi hantamannya di Meksiko, meteorit tersebut diperkirakan berdiameter setidaknya 14 kilometer.
Meteorit itu sendiri aslinya adalah sejenis asteroid yang tertarik oleh gravitasi Bumi. Oleh para ahli, asteroid tersebut diberi nama asteroid Chicxulub. Dan seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, asteroid ini menjadi biang kerok punahnya dinosaurus dari planet ini. Peristiwa yang oleh para ilmuwan dikenal dengan istilah kepunahan Cretaceous-Paleogene (K-Pg).
“Asteroid Chicxulub menyebabkan timbulnya tsunami raksasa berskala global. Tsunami yang skalanya tidak dapat disamai oleh tsunami-tsunami yang terjadi di masa modern ini,” kata ilmuwan Molly Range yang memimpin penelitian ini. Range sendiri melakukan penelitian ini saat ia tengah menyelesaikan studi magisternya di Departemen Bumi dan Sains Lingkungan Universitas Michigan, AS.
Range dan rekan-rekannya merilis hasil penelitian ini dalam acara Serikat Geofisika Amerika yang digelar pada tanggal 14 Desember 2018 di Washington D.C., AS. “Sejauh yang kami tahu, kami adalah orang-orang pertama yang menciptakan model tsunami yang tercipta mulai dari hantaman meteorit hingga ujung perambatannya,” kata Range kepada Live Science.
Menurut pengakuan Range, ide untuk melakukan penelitian ini sendiri bermula ketika dua orang penasihatnya – Ted Moore dan Brian Arbic, keduanya sama-sama berasal dari departemen tempat Range melanjutkan studi – menyadari kalau ada celah yang mencolok mengenai penelitian seputar Chicxulub. Celah yang dimaksud adalah belum pernah ada yang membuat simulasi mengenai tsunami yang tercipta dari hantaman meteorit Chicxulub.
“Saya baru sadar akan ukuran asli tsunami ini saat saya memulai penelitian. Dan membagi hasil penelitian ini kepada publik adalah hal yang menyenangkan,” kata Range. Para ilmuwan sendiri sudah lama tahu kalau meteorit Chicxulub menghantam kawasan dangkal di Teluk Meksiko. Namun belum ada yang bisa menggambarkan secara detail mengenai sebesar apakah gelombang yang timbul akibat hantamannya.
Hal itulah yang coba diatasi oleh Range dan para koleganya. Untuk mewujudkan hal tersebut, Range mengaku kalau pihaknya membutuhkan model simulasi yang bisa memperhitungkan hal-hal seperti kerusakan besar yang timbul pada pada lapisan atas Bumi yang terkena hantaman meteorit, ombak besar yang timbul di lokasi yang jauh dari lokasi hantaman meteorit, dan ombak yang mengarah kembali ke dalam air.
Range dan rekan-rekannya merasa kesulitan saat harus menciptakan sendiri model simulasi gelombang tersebut. Maka, mereka pun kemudian meminta bantuan kepada Brandon Johnson, asisten profesor dari Universitas Brown di Rhode Island yang kebetulan memiliki keahlian di bidang simulasi kawah hantaman.
Johnson yang dipercaya oleh tim ilmuwan pimpinan Range kemudian membuat model simulasi yang menampilkan gambaran seputar apa yang terjadi selama 10 menit pertama seusai terjadinya hantaman meteorit.
Dalam simulasinya, diketahui kalau hantaman tersebut menyebabkan air yang ada di lokasi hantaman sempat terhempas ke segala arah, sehingga kawah hasil hantaman yang kedalamannya mencapai 1,5 kilometer sempat berada dalam kondisi kering untuk sementara waktu. Namun kemudian airnya kembali menuju lokasi hantaman dan mengisi cekungan kawah bekas hantaman meteorit. Saat air tersebut mengisi kawah bekas hantaman, air-air tadi saling bertabrakan dalam prosesnya dan menciptakan ombak raksasa.
Setelah mengetahui apa yang terjadi pada air saat meteorit jatuh, Johnson bersama dengan tim ilmuwan pimpinan Range kemudian menciptakan model simulasi mengenai bagaimana tsunami yang tercipta dari meteorit ini menyebar ke samudera di seluruh dunia.
Untuk membuat model ini, Range dan rekan-rekannya menggunakan hasil model simulasi pertama sebagai pedoman dalam menentukan bentuk kawahnya serta dampaknya terhadap perairan setempat sambil memperhitungkan kedalaman laut dan kecepatan air. Mereka juga mengkombinasikan model simulasi ini dengan data samudera pada masa itu, sebelum kemudian membuat simulasi tsunaminya.
Berdasarkan simulasi yang mereka lakukan, tim ilmuwan pimpinan Range menemukan kalau dampak tsunami ini terasa di seluruh dunia. “Kami menemukan kalau tsunaminya bergerak ke seantero samudera, ke seluruh bagian samudera,” jelas Range.
Di Teluk Meksiko yang merupakan lokasi jatuhnya meteorit, ombak besar yang timbul bergerak hingga kecepatan 143 km/jam. Hanya berselang 24 jam kemudian, dampak tsunaminya sudah merambat hingga ke Samudera Atlantik dan jalur laut Amerika Tengah, semacam kanal laut alamiah yang pada masa itu menghubungkan Teluk Meksiko dan Samudera Pasifik.
Sekedar catatan, permukaan Bumi pada masa itu tidak sama dengan sekarang. Sebagai contoh, Benua Amerika Utara dan Selatan pada waktu masih belum bersatu. Namun secara berangsur-angsur, kedua benua tadi akhirnya menyatu hingga seperti sekarang akibat pergerakan lempeng Bumi.
Saat terjadi hantaman meteorit, sempat tercipta ombak raksasa yang tingginya mencapai 1,5 km. Ketika ombaknya menyebar ke seluruh lautan, timbullah ombak-ombak lain yang lebih kecil, namun ukurannya tidak kalah spektakuler. Di Pasifik Selatan dan Atlantik Utara, tercipta ombak hingga setinggi 14 m. Di Pasifik Utara, tinggi ombaknya mencapai 4 m.
Di Teluk Meksiko sendiri, ombak yang tercipta tingginya beragam mulai dari yang “hanya” 20 m hingga yang mencapai 100 m. Sebagai perbandingan, ombak tertinggi yang pernah tercatat di masa modern ini tingginya hanya mencapai hampir 24 m. Ombak tersebut muncul di dekat Selandia Baru pada bulan Mei 2018 lalu.
Range menambahkan kalau pihaknya memiliki bukti jika ombak raksasa memang benar-benar pernah tercipta saat meteorit Chicxulub menghantam lautan. Menurut simulasi yang mereka buat, air yang bergerak dengan kecepatan tinggi dari lokasi jatuhnya meteorit akan menimbulkan pengikisan di Pasifik Selatan, Atlantik Utara, dan Laut Mediterania.
Bukti yang dimaksud pernah disinggung dalam hasil penelitian Ted Moore. Dalam penelitiannya, Moore memeriksa catatan sedimen atau endapan di seluruh samudera dunia. Saat hasil penelitian Moore dibandingkan oleh model simulasi Range ini, ada benang merah di antara keduanya.
Range juga memberikan ilustrasi mengenai sedahsyat apakah tsunami ini jika dibandingkan dengan tsunami tahun 2004, salah satu tsunami paling mematikan yang pernah terjadi dalam sejarah manusia. “Tsunami akibat hantaman Chicxulub memiliki energi yang besarnya 2.500 hingga 29.000 kali lipat lebih tinggi dibandingkan tsunami Hindia di tahun 2004,” kata Range menerangkan.
Walaupun tsunami yang tercipta akibat hantaman meteorit Chicxulub begitu dahsyat, tsunami sendiri bukanlah penyebab utama kenapa dinosaurus mengalami kepunahan. Saat meteorit menghantam Bumi, hantamannya menyebabkan debu dan serpihan batu panas membumbung ke atmosfer.
Akibat begitu banyaknya debu panas yang beterbangan, timbul kebakaran hutan di permukaan Bumi sehingga banyak dinosaurus serta hewan purba di masa itu yang mati terpanggang hidup-hidup. Lalu sesudah itu, gumpalan debu tadi menghalangi masuknya cahaya matahari. Sebagai akibatnya, tanaman mengalami kematian massal dan hewan-hewan yang masih hidup mengalami kematian massal akibat kelaparan.
Sumber :
https://www.livescience.com/64426-dinosaur-killing-asteroid-caused-giant-tsunami.html