Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sidangkou, Desa Cina yang Penduduknya Tergila-Gila dengan Saksofon

Saksofon adalah nama dari alat musik tiup yang bentuknya menyerupai huruf ‘J’. Bagi mereka yang gemar menyaksikan konser jazz atau ensembel musik instrumen, saksofon bukanlah alat musik yang asing karena alat musik ini sering digunakan dalam konser-konser tadi. Saksofon juga terkenal karena alat musik inilah yang digunakan oleh musisi instrumen terkenal Kenny G.

Saksofon diciptakan oleh Adolphe Sax – seorang pengrajin alat musik asal Belgia – pada tahun 1846. Dari nama Sax pulalah, alat musik yang bersangkutan mendapatkan namanya. Sesudah pertama kali diciptakan, kian banyak yang tertarik akan alat musik tersebut sehingga sekarang saksofon memiliki reputasi yang mendunia. Namun tahukah anda bahwa meskipun saksofon merupakan alat musik ciptaan orang Belgia, ternyata alat musik ini sekarang banyak diproduksi di sebuah desa kecil di Cina sana?

Penduduk Sidangkou China

Sidangkou adalah nama dari sebuah desa yang terletak di Cina utara. Walaupun Cina sudah lama terkenal sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, Sidangkou sendiri hanyalah desa kecil yang jumlah penduduknya hanya sekitar 4.000 jiwa. Meskipun kecil, desa ini memiliki produk yang sudah melanglang buana keluar negeri.

Sidangkou merupakan desa yang terkenal sebagai produsen alat musik saksofon. Ada lebih dari 70 pabrik saksofon yang beroperasi di desa ini. Setiap bulannya, jumlah saksofon yang dibuat di desa ini mencapai 10.000 buah. Sebanyak 90 persen saksofon yang mereka buat diekspor keluar negeri (terutama ke Amerika Serikat) dan kemudian dijual kembali dengan harga mencapai 1,5 juta rupiah per unitnya.

Sebagai akibat dari begitu banyaknya saksofon yang dibuat di desa ini, Sidangkou pun sampai dijuluki sebagai “ibukota saksofon Cina”. Namun penduduk Sidangkou sendiri bukan hanya tertarik untuk membuat saksofon. Mereka juga menunjukkan kecintaan dan minatnya untuk memainkan alat musik tiup ini.

Setiap hari kerja saat matahari sudah bersinar, para pekerja akan menyibukkan diri di dalam ruangan pabrik untuk membuat saksofon. Namun ketika matahari sudah terbenam, mereka akan bersantai dengan teman-temannya sambil memainkan alat saksofon buatannya.

Bukan hanya pekerja pabrik saksofon yang tertarik akan alat musik ini. Penduduk Sidangkou yang berasal dari beragam profesi dan umur sama-sama menunjukkan rasa cintanya yang tinggi akan alat musik ini. Saat menunggu matahari terbit, petani kerap memainkan lagu memakai saksofon untuk bersantai sebelum bekerja di ladang. Anak-anak sekolah beramai-ramai membentuk kelompok pemain saksofon di sekolahnya. Para penjaga toko membunuh kesunyian di tempat kerjanya dengan cara memutar lagu-lagu yang dimainkan oleh Kenny G.

Pemandangan tersebut sangat lazim dijumpai di Sidangkou, namun bukanlah pemandangan umum di kota-kota lain di Cina. Pasalnya saksofon bukanlah alat musik yang banyak digemari di Negeri Tirai Bambu tersebut. Penyebab utamanya adalah pemerintah komunis Cina yang mulai berkuasa sejak tahun 1949 sempat menetapkan saksofon sebagai alat musik yang terlarang dan identik dengan kaum kapitalis. Mereka juga mencela musik jazz sebagai musik yang individualis dan mendorong kebebasan berpendapat yang terlalu luas.

Namun itu dulu. Saat pemerintah Cina mulai membuka diri ke dunia luar dan mengizinkan berdirinya perusahaan-perusahaan swasta, hal-hal berbau Barat yang awalnya dilarang kini mulai menyebar secara luas di Cina. Kalau untuk kasus Sidangkou, dampak dari perubahan sikap tersebut adalah munculnya pabrik-pabrik pembuat saksofon di desa tersebut sejak tahun 90-an.

Pusatnya Alat Musik Tiup

Sidangkou China Saxophone

Daerah Sidangkou dan sekitarnya sendiri sejak pertengahan abad ke-20 sudah dikenal sebagai sentranya  produsen alat musik. Pada awalnya kawasan tersebut hanya memproduksi alat-alat musik tradisional Cina seperti sheng dan suling bambu. Ketika Cina mulai membuka diri terhadap masuknya budaya Barat, daerah yang sama mulai memproduksi alat-alat musik modern seperti terompet, tuba, dan saksofon.

Sekarang, saksofon bukan hanya menjadi sumber mata penghidupan bagi penduduk Sidangkou. Tetapi juga sebagai wahana untuk menyalurkan kecintaan mereka akan alat musik ini sambil melepas rasa lelah. Bisa dibilang saksofon sekarang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari penduduk Sidangkou.

Fu Guangcheng contohnya. Pria tersebut bukanlah orang asli Sidangkou karena ia baru datang ke desa tersebut pada tahun 1995. Namun seiring dengan semakin lamanya ia tinggal di Sidangkou, rasa cintanya akan saksofon perlahan juga ikut muncul. Sampai-sampai ia mengambil pendidikan formal khusus mengenai saksofon.



“(Saksofon) adalah karir saya, hidup saya. Saya sekarang bangun sambil melihat saksofon dan tidur sambil melihat saksofon,” kata Fu yang sekarang bekerja sebagai pegawai pabrik. “Sungguh suatu hal yang menakjubkan bisa melihat orang-orang yang dulunya hanya memegang cangkul kini bisa menciptakan alat musik Barat.”

“Suara saksofon sungguh indah. Saya tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya,” kata Zhao Baiquan, penduduk Sidangkou yang berumur 56 tahun. “Tidak peduli semarah apapun saya, suaranya bakal langsung membuat saya kembali tenang.” Sekarang Zhao memiliki hobi bermain saksofon bersama dengan para tetangganya sambil diiringi dengan suara rekaman orkestra sebagai musik latarnya.

Memainkan alat musik acap kali memerlukan keterampilan lebih. Hal tersebut juga berlaku untuk penduduk Sidangkou. Namun karena dasarnya sudah cinta, mereka pun rela menjalani latihan secara otodidak atau menggunakan video yang beredar di internet sebagai panduannya.

“Kami tidak memiliki guru saksofon di sini. Mempelajari saksofon bukanlah hal yang mudah. Saya sendiri sudah berkali-kali harus belajar ulang,” kata Chen Jinsheng (56) yang memiliki grup musik saksofonnya sendiri.

Jazz Kurang Diminati

Sidangkou China Main Saxophone

Lantas, musik apa yang lazimnya dimainkan oleh penduduk Sidangkou dengan saksofonnya? Mereka lazimnya bermain lagu tradisional dan lagu wajib Cina, mengingat lagu-lagu itulah yang paling akrab di telinga mereka. Namun selain lagu-lagu asli negara mereka, penduduk Sidangkou juga menggemari lagu-lagu asing.

Lagu “Musim Semi Datang ke Utara” merupakan lagu asal Jepang yang banyak disukai oleh penduduk Sidangkou. Sementara lagu “Going Home” yang dipopulerkan oleh Kenny G merupakan lagu yang banyak diputar di pusat perbelanjaan, sekolah, dan stasiun kereta api saat hendak mengakhiri aktivitas hariannya.

Menariknya, walaupun lagu jazz merupakan lagu yang identik dengan saksofon, ternyata lagu tersebut bukanlah genre yang banyak dimainkan oleh penduduk Sidangkou. “Lagu jazz memang indah, tapi terlalu rumit. Lagu-lagu Cina lebih akrab dan lebih mudah dimainkan,” kata pegawai pabrik Wang Bingjun menjelaskan alasannya. 

Tidak jarang penduduk Sidangkou mencoba mempopulerkan alat musik ini keluar desanya. Namun upaya tersebut bukanlah upaya yang mudah. Pasalnya meskipun sekarang pemerintah Cina bersikap jauh lebih toleran terhadap alat-alat musik asing, masih banyak penduduk Cina sendiri yang memandang rendah saksofon. Para orang tua lebih suka mengajari anak-anaknya cara bermain piano atau biola ketimbang saksofon. 

Bahkan di Sidangkou sendiri, belum semua sekolah memiliki grup saksofonnya sendiri. Namun hal tersebut dipercaya bakal berubah seiring dengan berjalannya waktu. Kalaupun saksofon pada akhirnya tidak bisa diterima oleh semua penduduk Cina, setidaknya reputasi saksofon buatan Sidangkou sudah diakui oleh mereka yang tinggal di dalam dan luar Cina.

Credit referensi:
https://nytimes.com/2018/01/03/world/asia/china-sidangkou-saxophone.html
https://en.wikipedia.org/wiki/Saxophone