Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Metode Eksekusi Paling Sadis yang Pernah Dilakukan oleh Bangsa Persia

Persia adalah suatu kawasan di Asia Barat yang sekarang menjadi lokasi dari negara Iran. Selama ribuan tahun, Persia menjadi lokasi munculnya kerajaan-kerajaan megah yang wilayah kekuasaannya membentang hingga ke Eropa dan Afrika. Sebagai cara untuk menunjukkan supremasi dan memberikan rasa patuh kepada rakyatnya, raja-raja Persia pun memiliki caranya sendiri saat menjatuhkan hukuman mati. Berikut ini adalah beberapa metode eksekusi mati paling mengerikan yang pernah dilakukan oleh bangsa Persia.

Dijadikan Kursi Usai Dibunuh

Sisamnes

Sisamnes adalah nama dari seorang hakim Persia yang ketahuan menerima sogokan. Sebagai cara untuk memberi efek jera sekaligus peringatan kepada para hakim yang lain, raja Darius memutuskan untuk memberikan hukuman khusus kepada Sisamnes. Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara digorok lehernya, namun eksekusi tersebut ternyata barulah awalnya.

Setelah Sisamnes meregang nyawa, Darius memerintahkan para algojonya untuk menguliti Sisamnes. Kulit Sisamnes kemudian dipotong-potong dan dijahit menjadi alas tempat duduk hakim. Harapannya adalah saat hakim yang duduk di kursi tersebut melihat kulit yang melapisi kursinya, ia bakal langsung teringat akan nasib naas yang menimpa Sisamnes dan menolak menerima sogokan.

Karena Sisamnes sudah meninggal, maka secara otomatis ada jatah kosong untuk hakim yang baru. Hakim yang dipercaya menjadi pengganti Sisamnes ternyata adalah putra Sisamnes sendiri. Yang lebih ngerinya lagi, setiap kali putra Sisamnes bertugas, ia harus duduk di atas kursi yang dilapisi dengan kulit mendiang ayahnya sendiri. Sebuah cara yang mengerikan bagi pasangan ayah dan anak untuk bisa bersama.

Ditenggelamkan di Dalam Abu

Ditenggelamkan di Dalam Abu

Salah satu hukuman paling mengerikan yang pernah dipraktikkan oleh bangsa Persia adalah ditimbun memakai abu hingga mati tercekik. Karena hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang amat berat, hukuman ini biasanya dijatuhkan pada orang-orang yang ketahuan melakukan pelanggaran hukum yang sangat serius dan tak termaafkan, misalnya pengkhianatan tingkat tinggi dan penistaan terhadap para dewa.

Untuk keperluan hukuman ini, bangsa Persia memiliki sebuah menara setinggi 23 meter yang bagian dalamnya diisi dengan timbunan abu dan beberapa buah roda. Mereka yang dijatuhi hukuman akan dijatuhkan ke dalam abu dari puncak menara. 

Karena jarak antara permukaan tertinggi abu dengan lokasi jatuhnya korban hukuman cukup jauh, maka korban biasanya akan langsung menderita cedera dan bahkan patah tulang begitu menghantam abu yang masih panas.Namun penderitaan korban belum berhenti sampai di sana. 

Para algojo yang bersiaga di luar menara akan memutar roda menara sehingga abu yang ada di dalam menara bergerak dan korban terbenam ke bawah. Semakin lama, sekujur badannya akan tertutup sepenuhnya oleh abu. Sebagian dari abu tersebut kemudian akan masuk ke dalam lubang hidung atau mulut sehingga korban secar perlahan mati kehabisan nafas sambil harus menahan perihnya panas dari abu. 

Kepala Dihancurkan Memakai Batu

Hukuman persia

Praktik membeda-bedakan perlakuan berdasarkan strata sosial juga berlaku di Persia. Jika seorang dari golongan keluarga kerajaan ketahuan melakukan tindak kejahatan, maka hukuman yang diterimanya tidak akan seberat hukuman pada rakyat jelata. Bahkan tidak jarang kalau seorang pelayan harus menerima hukuman berat demi menebus kesalahan yang dilakukan oleh majikannya.

Hal itulah yang terjadi Parysatis, ibu dari raja Artaxerxes II. Ia memendam kebencian kepada istri Artaxerxes yang bernama Stateira. Saat tampil di hadapan publik, keduanya memang nampak tidak memiliki masalah. Namun saat sedang tidak siapa-siapa, keduanya senantiasa mencoba saling bunuh.

Saking parahnya permusuhan di antara keduanya, Artaxerxes sampai harus ikut campur. Ia memerintahkan supaya makanan yang hendak dihidangkan kepada mereka berdua harus berasal dari makanan yang sama yang sudah dibelah supaya keduanya tidak berani meracuni makanan satu sama lain.

Namun Parysatis tidak kehabisan akal. Dengan cerdik, ia melumuri racun pada salah satu sisi pisau dan meminta pelayan untuk memotong hidangan yang hendak disajikan kepada Stateira dengan memakai sisi pisau tersebut. Akibatnya, Stateira tewas usai memakan hidangan tersebut, sementara Parysatis tetap hidup karena ia makan dari hasil belahan pisau yang tidak dilumuri racun.

Artaxerxes sebenarnya sudah bisa menebak siapa dalang di balik tewasnya Stateira. Namun karena ia tidak sampai hati menghukum mati ibunya, ia menjatuhkan hukuman pengasingan kepada Parysatis. Sementara pelayan malang yang kebetulan memotong hidangan terakhir Stateira dihukum mati dengan cara dihancurkan kepalanya memakai batu. Parysatis sendiri pada akhirnya tidak menjalani hukuman pengasingannya secara permanen setelah ia diundang kembali oleh Artaxerxes.

Digerogoti Serangga Hidup-Hidup

Digerogoti Serangga Hidup-Hidup

Raja Persia memiliki caranya sendiri untuk menghukum mati orang yang secara pribadi benar-benar ia benci. Hukuman tersebut adalah dengan menyiksa korban memakai serangga hingga tewas.

Untuk metode eksekusi yang satu ini, mula-mula para algojo akan mengikat korban di dalam batang kayu yang bagian dalamnya berongga. Namun bagian kepala, tangan, dan kaki korban ditempatkan di luar batang kayu supaya terpapar sinar matahari langsung.

Para algojo kemudian memasukkan susu dan madu ke dalam mulut korban secara paksa hingga korban merasa mual dan menderita diare. Mereka juga melumuri bagian tubuh korban yang berada di luar batang pohon dengan memakai madu.

Karena tertarik akan aroma madu, serangga-serangga akan mulai berdatangan dan hinggap pada korban. Selama hingga, serangga-serangga tersebut akan memakan madu sambil menggeregoti daging korban hingga korban merintih kesakitan.

Namun siksaan tersebut masih belum berhenti sampai di sana. Para algojo akan terus menyuapi korban memakai susu dan madu supaya ia bisa hidup selama mungkin sehingga penderitaannya kian panjang. 

Sesudah beberapa hari, korban akan berada dalam kondisi sekarat dan akhirnya meninggal. Saat para algojo menggunakan metode penyiksaan macam ini untuk pertama kalinya, korban pertama dilaporkan baru meninggal sesudah menjalani 17 hari yang penuh siksaan dan penderitaan.

Dimakan Ayahnya Sendiri

Harpagus via wikiwand.com

Suatu hari, raja Astyages bermimpi kalau cucunya kelak bakal menggulingkan dirinya. Merasa khawatir kalau mimpi tersebut mungkin merupakan ramalan masa depan, Astyages kemudian memerintahkan panglima militernya yang bernama Harpagus untuk membawa cucu Astyages ke tengah hutan dan meninggalkannya di sana supaya mati dengan sendirinya.

Harpagus menuruti perintah Astyages untuk membawa pergi bayi tersebut. Namun karena ia tidak sampai mati membiarkan bayi tersebut meninggal, Harpagus secara diam-diam menitipkan bayi tersebut kepada seorang penggembala domba yang kemudian mengadopsinya layaknya anaknya sendiri.

Sepuluh tahun kemudian, Astyages akhirnya menyadari kalau Harpagus secara diam-diam menolak menuruti perintahnya. Maka, ia kemudian memerintahkan supaya putra Harpagus dibunuh dengan cara digorok lehernya. Namun Astyages masih belum puas dan kemudian ia memerintahkan supaya jasad putra Harpagus dicincang dan dimasak.

Daging putra Harpagus tersebut kemudian dihidangkan kepada Harpagus. Pada awalnya Harpagus tidak tahu kalau yang dimakannya adalah daging anaknya sendiri. Baru setelah Astyages memajang kepada putra Harpagus di hadapan Harpagus, Harpagus akhirnya sadar kalau ia baru saja memakan daging anaknya sendiri.

Harpagus sadar kalau menunjukkan kemarahan di depan Astyages hanya akan membahayakan keselamatan dirinya beserta mungkin orang-orang dekatnya juga. Maka, Harpagus pun mencoba tetap bersikap tenang di hadapan Astyages. Sesudah itu, Harpagus membawa sisa daging anaknya dan menguburkannya secara layak.

referensi: 
https://culturacolectiva.com/history/scaphism-ancient-persian-torture-method-with-milk-and-honey
https://listverse.com/2017/06/28/10-ancient-persian-punishments-beyond-your-worst-nightmares/