Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sokushinbutsu Mengorbankan Dirinya Sendiri Agar Mayatnya Tetap Awet

Saat seseorang mendengar kata “mumi”, maka biasanya yang terbayang adalah sosok mayat asal Mesir Kuno yang tubuhnya dibalut perban. Padahal kenyataannya, mumi bukan hanya digunakan untuk menyebut mayat Mesir Kuno yang sudah diawetkan. Tetapi juga untuk menyebut mayat dari peradaban selain Mesir Kuno yang sudah menjalani proses pengawetan agar jasadnya tidak rusak akibat pembusukan.

Satu dari sekian peradaban yang juga mengenai praktik membuat mumi adalah Jepang di Abad Pertengahan. Hal yang menarik mengingat Jepang memiliki kondisi yang kurang menunjang untuk mengawetkan mayat. Pasalnya wilayah Jepang tidak memiliki gurun pasir yang gersang ataupun daerah yang esnya tidak pernah membeku. Tidak seperti Mesir yang wilayahnya gersang sehingga penguraian mayat berjalan amat lambat.

Meskipun begitu, ternyata tetap ada segelintir orang Jepang yang berhasil menemukan metode pembuatan mumi di tengah segala keterbatasan tersebut. Orang-orang tersebut adalah para pendeta Buddha dari aliran Shingon. Mereka berhasil menemukan cara untuk mengawetkan mayat mereka sendiri lewat latihan pengendalian diri yang ketat.

Antara tahun 1093 hingga 1903, ada setidaknya 17 orang pendeta Buddha dari kawasan pegunungan Yamagata di Jepang utara yang mengawetkan dirinya sendiri. Sebagian di antara mereka bahkan terlihat masih memiliki kulit yang utuh. Jumlah mumi pendeta Buddha tersebut bisa jadi lebih tinggi karena masih ada pendeta-pendeta yang jasadnya belum ditemukan karena lokasi makamnya terlalu terpencil. 

teknik Sokushinbutsu
teknik Sokushinbutsu via suratkabar.id
Lantas, bagaimana caranya mayat mereka masih berada dalam kondisi yang amat baik? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka mau tidak mau kita harus membahas soal Kukai terlebih dahulu. Kukai atau Kobo Daishi adalah nama dari pendeta Buddha yang mencetuskan aliran Shingon pada tahun 806 dan meninggal pada tahun 835.

Menurut catatan dari abad ke-11, Kukai aslinya tidak meninggal di tahun tersebut. Melainkan hanya sebatas memasuki ruangan makamnya untuk menjalani meditasi ekstrim bernama “nyujo” dan tidak pernah terlihat bergerak lagi sejak itu. Masih menurut catatan yang sama, Kukai akan muncul kembali jutaan tahun kemudian untuk membawa jiwa-jiwa menuju surga atau nirwana. 

Tindakan yang dilakukan oleh Kukai tersebut lantas menginspirasi para pengikut alirannya untuk menempuh langkah serupa. Orang pertama yang tercatat mencoba mengikuti jejak Kukai adalah seorang pria bernama Shojin. Ia dilaporkan menguburkan dirinya hidup-hidup pada tahun 1081 dengan harapan jasadnya tetap terawetkan dan ia bisa bangkit kembali di masa depan untuk menolong umat manusia.

Harapan Shojin nyatanya tidak terwujud. Saat pengikut Shojin membongkar makamnya, mereka menemukan kalau jasad gurunya tersebut sudah mengalami kerusakan akibat membusuk. Para pengikut aliran Shingon pun kemudian berpikir keras supaya mayat mereka kelak bisa tetap utuh. Atau kalau dalam pandangan mereka, mengelabui kematian supaya tubuh mereka berada dalam tahap meditasi abadi.

Setelah melalui rangkaian percobaan sekaligus kegagalan selama dua abad lebih, akhirnya para pengikut aliran Shingon menemukan solusinya. Mula-mula, sejak tiga tahun sebelum hari kematian yang dikehendakinya, seorang pendeta yang ingin mengawetkan mayatnya sendiri harus mengubah total pola makannya. 

Ia hanya boleh mengkonsumsi kacang, akar, kulit kayu dan bagian tanaman lain yang bisa didapatkan di gunung. Saat sedang tidak mencari makan, orang yang bersangkutan harus menghabiskan waktunya untuk bermeditasi di gunung. Walaupun normalnya periode ini dihabiskan dalam waktu 3 tahun, ada pula penganut aliran Shingon yang menjalani pola hidup tersebut selama 9 tahun hingga dirinya merasa sudah mendapatkan kesiapan batin untuk melakukan nyujo.

mengkonsumsi kacang, akar, kulit kayu
mengkonsumsi kacang, akar, kulit kayu via ranker.com
Dari aspek spiritual, pola makan yang serba terbatas tersebut membantu menjauhkan seseorang dari hal-hal duniawi beserta godaan dan hal-hal negatif di dalamnya. Sementara kalau dari aspek biologis, ketatnya pola makan tersebut membuat tubuh secara berangsur-angsur kehilangan cadangan lemak dan airnya. Berkurangnya cadangan nutrisi dalam tubuh pada gilirannya menghambat perkembangbiakan bakteri dan parasit yang kelak bakal menguraikan tubuh orang tersebut saat sudah meninggal.

Sesudah menjalani pola makan ketat tadi, barulah orang yang bersangkutan melakukan nyujo. Banyak orang percaya kalau saat menjalani nyujo, pelakunya juga meminum teh yang terbuat dari kulit kayu Toxicodendron verniculum. Pohon tersebut kulit kayunya mengandung racun sehingga jika sampai diminum, orang tersebut akan meninggal lebih cepat. Racun yang sama juga membuat tubuh peminumnya menjadi semakin tidak bersahabat untuk ditempati oleh bakteri pengurai mayat.

Jika pelaku nyujo merasa kalau ajalnya sudah dekat, para muridnya akan membuatkan liang kubur sedalam tiga meter. Sesudah itu, sang pelaku nyujo akan masuk ke dalam liang tersebut, menguburnya hidup-hidup, dan menancakan saluran bambu ke dalam liang supaya guru mereka bisa bernapas.

Sang guru yang melakukan nyujo juga bakal dibekali dengan lonceng. Jika ia masih hidup, ia akan membunyikan loncengnya secara berkala. Namun jika ia sudah meninggal, maka suara loncengnya tidak akan terdengar lagi. Jika murid-muridnya sudah tidak mendengar bunyi lonceng, mereka akan membongkar kuburan gurunya untuk melihat apakah gurunya sudah benar-benar meninggal sebelum kemudian mengambil lonceng tadi dan menutup kembali liang kuburnya.

Sesudah kurang lebih 3 tahun kemudian, kuburannya akan dibuka kembali untuk diperiksa jasadnya. Jika tubuhnya ternyata tetap membusuk, maka upacara pengusiran setan akan dilakukan pada jasadnya. Namun jika jasadnya ternyata tidak membusuk, orang yang bersangkutan dianggap sudah menjadi “sokushinbutsu” (penjelmaan Buddha) dan dipindahkan ke tempat yang lebih sakral. 

Beratus-ratus tahun berlalu, praktik ini terus dilakukan oleh para penganut aliran Shingon. Hingga akhirnya timbul Restorasi Meiji pada abad ke-19. Karena pemerintah Meiji memandang nyujo sebagai praktik yang terbelakang dan tidak beradab, pemerintah pun melarang nyujo dipraktikkan.

Kendati sudah dilarang, kenyataannya nyujo masih tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi hingga akhir abad ke-20. Orang terakhir yang diketahui melakukan Nyujo adalah seorang pendeta bernama Bukkai yang meninggal pada tahun 1903. Mayatnya baru ditemukan pada tahun 1961 saat tim ilmuwan dari Universitas Tohoku. Sekarang mayat Bukkai tersimpan di kuil Kanzeonji.

Dari sekian banyak mumi pelaku nyujo yang sudah ditemukan, mumi dengan kondisi terbaik adalah mumi Shinnyokai yang meninggal pada tahun 1783 dalam usia 96 tahun. Kulitnya terlihat masih utuh dengan wajah yang menunjukkan ekspresi tersenyum. Sekarang mumi Shinnyokai tersimpan di dalam kotak kaca Kuil Dainichi-boo.

memperlakukan jasad Shinnyokai dengan penuh hormat
memperlakukan jasad Shinnyokai dengan penuh hormat via tempo.co
Para jemaat kuil masih memperlakukan jasad Shinnyokai dengan penuh hormat. Setiap 6 tahun sekali, mereka akan mengganti jubah Shinnyokai sambil melakukan upacara khusus. Jubahnya yang lama kemudian dipotong-potong dan dijual kepada publik sebagai jimat pelindung. Untuk menunjukkan kalau jubah Shinnyokai memang mengandung kekuatan khusus, mereka juga menempelkan pesan-pesan testimoni dari mereka yang pernah membeli jimatnya.

Bagi kebanyakan orang, praktik nyujo dipandang sebagai bentuk penyiksaan diri hingga tewas. Namun bagi mereka yang mempercayainya, nyujo justru dipandang sebagai bentuk pengorbanan untuk keselamatan umat manusia. Pasalnya menurut keyakinan mereka, selama jasad pelaku nyujo masih berada dalam kondisi terawetkan, mereka bisa membawa keselamatan bagi umat manusia selama jasad mereka masih terikat dengan bumi. 

Di masa kini, mumi para pelaku nyujo tersebut menjadi saksi bisu sekaligus bukti mengenai betapa beragamnya aliran keagamaan di Jepang pada masa silam. Sekaligus menjadi sumber informasi kalau setiap peradaban di dunia memiliki caranya masing-masing dalam mengawetkan mayat.

Sumber :
https://www.atlasobscura.com/articles/sokushinbutsu
https://www.ranker.com/list/facts-about-sokushinbutsu-japanese-self-mummification-monks/amber-fua