Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kecelakaan Pesawat Paling Naas yang Pernah Menimpa Tim Sepak Bola

Manusia berusaha, tetapi Tuhan yang menentukan. Itulah pepatah yang pada intinya ingin menyatakan kalau sekuat apapun manusia berusaha, selalu ada rintangan yang siap menghadang. Bahkan tidak jarang mereka yang tengah berada di puncak kesuksesan harus kehilangan semua hasil kerja kerasnya dalam sekejap akibat musibah yang tidak bisa dielakkan. Hal serupa juga berlaku di ranah sepak bola. Dengan berbekal pemain-pemain berbakat dan pemilihan taktik yang tepat, maka secara teotiris tim tersebut cepat atau lambat bakal mendapatkan trofi.

Namun sayangnya, selain faktor-faktor di dalam lapangan, faktor di luar lapangan juga turut berperan dalam menentukan kesuksesan sebuah tim. Musibah kecelakaan pesawat adalah contoh faktor di luar lapangan yang bisa mengubah peruntungan suatu tim dalam waktu yang sangat singkat. Sudah ada sejumlah kasus di mana tim-tim yang awalnya disegani dalam sekejap berubah menjadi pesakitan setelah para punggawa timnya meninggal dalam kecelakaan fatal. Berikut adalah contoh-contoh dari kasus kecelakaan pesawat yang melibatkan tim sepak bola.

Torino dan Tragedi Superga (1949)

Torino dan Tragedi Superga (1949)

Di masa kini, pecinta sepak bola lebih mengenal Torino sebagai klub medioker asal kota Turin yang senantiasa berada di bawah bayang-bayang rival sekotanya, Juventus. Namun jika kita mundur hingga lebih dari setengah abad silam, kondisinya berbeda 180 derajat. Pasalnya di masa itu, Torino merupakan penguasa Liga Italia sejak tahun 1943 hingga 1949 dengan rentetan gelar juara beruntunnya. Berkat kehebatannya, tim Torino pun pada periode ini memperoleh julukan Il Grande Torino (Torino yang Agung).

Namun kehebatan Torino di atas lapangan hijau harus berakhir secara tragis pada tanggal 4 Mei 1949. Semuanya bermula saat punggawa tim Torino melakukan pertandingan persahabatan melawan Benfica. Sesudah bertanding, mereka pun bertolak dari Lisbon menuju Turin dengan memakai pesawat. Namun sebelum pesawat sampai ke Turin, pesawat yang ditumpangi oleh punggawa tim Torino sempat singgah terlebih dahulu di Barcelona untuk melakukan pengisian bahan bakar.

Tanda-tanda kalau musibah bakal terjadi sendiri sudah mulai nampak ketika sejak pagi di hari terjadinya insiden, langit kota Turin diselimuti oleh kabut yang lebih tebal dibandingkan biasanya. Akibatnya, saat pesawat yang dinaiki anggota tim Torino sudah hampir tiba di Bandara Turin-Aeritalia, pilot pesawat tersebut mengalami kesulitan saat harus menentukan arah.

Saat itulah peristiwa naas itu terjadi. Terjebak di tengah-tengah pekatnya kabut, pesawat  menjadi sulit dikendalikan dan kemudian kehilangan ketinggian dengan cepat. Yang terjadi selanjutnya adalah pesawat tersebut menabrak Basilika Superga yang terletak di atas bukit dekat kota Turin. Sahabat anehdidunia.com ada 31 orang penumpang yang diangkut oleh pesawat saat kecelakaan terjadi dan mereka semua tewas dalam tabrakan.

Musibah di Superga ini sekaligus menjadi akhir naas dari generasi emas Torino. Begitu dahsyatnya dampak traumatis yang ditimbulkan insiden ini sampai-sampai ketika timnas Italia hendak menuju Brazil untuk mengikuti Piala Dunia 1950, mereka lebih memilih untuk menaiki kapal ketimbang pesawat.

Manchester United dan Tragedi Muenchen (1958)

Manchester United dan Tragedi Muenchen (1958)

Status Manchester United (MU) sebagai salah satu raksasa sepak bola Inggris ternyata sudah berlaku sejak beberapa dasawarsa silam. Di bawah kepemimpinan Matt Busby, MU sukses menyabet gelar juara Liga Inggris pada tahun 1957. Berkat kesuksesan di kancah domestik, MU pun berhak mewakili Inggris untuk turnamen Piala Eropa, cikal bakal Liga Champions.

Upaya MU untuk mengukuhkan statusnya sebagai raja Eropa sayangnya harus dirusak oleh insiden tragis yang tidak disangka-sangka. Sesudah bertanding melawan Red Star di Belgrade (sekarang terletak di Serbia), punggawa MU kembali ke Manchester dengan memakai pesawat. Namun sebelum tiba di tempat tujuan, pesawat tersebut sempat transit terlebih dahulu di bandara Muenchen, Jerman pada tanggal 6 Februari 1958 untuk melakukan pengisian bahan bakar.

Sesudah mengisi bahan bakar, pesawat ternyata tidak bisa langsung melanjutkan perjalanan akibat masalah mesin dan salju yang kian tebal. Dua kali mesin pesawat coba dinyalakan, namun dua kali itu pula penerbangan dibatalkan akibat adanya gangguan pada mesin. Namun penerbangan pada akhirnya tetap dilakukan pada percobaan ketiga.

Saat itulah kecelakaan terjadi. Karena landasan penuh dengan salju, pesawat malah tergelincir dan menabrak pagar pembatas bandara. Sahabat anehdidunia.com sesudah itu pesawat terus melaju sebelum kemudian menabrak rumah yang kebetulan ada di dekat bandara. Dari total 44 orang yang ada di dalam pesawat, sebanyak 23 orang kehilangan nyawanya dalam kecelakaan ini. Matt Busby sendiri termasuk dalam salah seorang korban selamat.

Akibat insiden ini, MU kehilangan sejumlah pemain terbaiknya pada masa itu. Hal tersebut lantas turut berdampak pada merosotnya performa MU di kancah domestik. Namun MU masih dikaruniai keberuntungan. Berkat kejelian Matt Busby dalam menemukan pemain-pemain berbakat seperti George Best dan Dennis Law, MU berhasil mengukuhkan kembali statusnya sebagai salah satu raksasa sepak bola Inggris. Puncaknya adalah ketika pada tahun 1968, Busby dan anak-anak asuhnya berhasil menjuarai Piala Eropa.

Chapecoense dan Tragedi Penerbangan LaMia (2016)


Chapecoense adalah nama dari sebuah klub sepak bola yang berasal dari kota kecil Chapeco di Brazil selatan. Karena awalnya tim ini lebih banyak menghabiskan waktu di divisi bawah, Chapecoense pun kalah mentereng jika dibandingkan dengan tim-tim Brazil lainnya seperti Santos, Palmeiras, atau Internacional.

Chapecoense mulai menyita perhatian khalayak sepak bola Brazil ketika mereka berhasil promosi ke kasta teratas Liga Brazil untuk pertama kalinya pada tahun 2014. Bak kisah dongeng Cinderella, hanya dalam waktu singkat Chapecoense berhasil melanjutkan performa gemilangnya dengan lolos ke Copa Sudamericana, turnamen kelas dua untuk tim-tim Amerika Selatan.

Di turnamen inilah sayangnya Chapecoense ditimpa tragedi yang mengejutkan publik sepak bola di seluruh dunia. Pada awalnya pesawat milik maskapai LaMia yang mengangkut punggawa tim Chapecoense terbang menuju kota Medellin, Kolombia. Rencananya saat sudah tiba di Kolombia, Chapecoense akan menjalani pertandingan final melawan Atletico Nacional.

Namun saat pesawat sudah mendekati bandara kota Medellin pada tanggal 28 November 2016, pesawat tidak bisa langsung mendarat di bandara karena ada pesawat lain yang tengah berada dalam kondisi darurat. Sahabat anehdidunia.com setelah sempat berputar-putar sambil menunggu giliran untuk mendarat, pesawat malang tersebut jatuh akibat kehabisan bahan bakar.

Ada 77 orang penumpang di dalam pesawat saat kecelakaan terjadi. Selain anggota tim Chapecoense, pesawat yang sama juga diisi oleh wartawan media Brazil. Hanya enam penumpang yang selamat dalam peristiwa ini. Satu di antara sedikit korban selamat tersebut adalah kiper cadangan Chapecoense yang harus pensiun dini karena kakinya harus diamputasi.

Kabar insiden ini langsung membuat dunia terhenyak. Ucapan bela sungkawa pun berdatangan dari dalam dan luar Brazil. Sejumlah klub Brazil beramai-ramai menawarkan pemain mereka kepada Chapecoense untuk dipinjam secara cuma-cuma. Dan kendati partai final Copa Sudamericana pada akhirnya batal digelar hingga tuntas, Chapecoense dinobatkan sebagai juara Chapecoense tahun itu atas permintaan dari Atletico Nacional sendiri.

Sumber :
https://thesefootballtimes.co/2015/05/30/the-tragedy-and-triumph-of-il-grande-torino/
https://en.wikipedia.org/wiki/Superga_air_disaster
https://www.bbc.com/news/world-latin-america-38142998
https://www.theguardian.com/world/2016/dec/05/chapecoense-copa-sudamericana-champions
https://en.wikipedia.org/wiki/Munich_air_disaster