Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seram! Suku Ini Menggunakan Tulang Jenazah Keluarganya untuk Dijadikan Senjata

Mata pisau normalnya dibuat dari bahan logam karena logam mudah dibentuk saat masih berbentuk lelehan, namun sangat kuat dan tahan lama ketika sudah mengering. Tidak mengherankan jika kemudian senjata tajam yang kita kenal di masa kini hampir semuanya terbuat dari logam. Namun tidak demikian halnya dengan suku di pedalaman Papua Nugini ini. Terbatasnya akses mereka terhadap teknologi pengecoran logam lantas mendorong mereka untuk memanfaatkan segala macam sumber daya yang bisa mereka gapai untuk membuat senjata.

Live Science mengabarkan kalau ada dua macam pisau tulang yang digunakan oleh penduduk tradisional Papua Nugini, yaitu pisau yang terbuat dari tulang burung kasuari dan pisau yang terbuat dari tulang manusia. Terdengar menyeramkan ya? Lantas dari kedua jenis pisau tulang tersebut, pisau manakah yang lebih kuat saat digunakan di medan perang?


Menurut studi terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti pimpinan Nathaniel Dominy, pisau yang terbuat dari tulang manusia ternyata lebih kuat dibandingkan dengan pisau yang terbuat dari tulang burung kasuari. Padahal dari segi ukuran, burung kasuari lebih besar dibandingkan manusia. Burung ini juga terkenal memiliki perilaku yang agresif sehingga penduduk setempat senantiasa berhati-hati untuk tidak sembarangan mengusik burung ini.

Dominy menjelaskan kalau alasan mengapa pisau tulang manusia lebih kuat dibandingkan pisau tulang burung kasuari adalah karena keduanya dibuat dengan cara yang berbeda. “Nampaknya kedua jenis tulang sama-sama bisa diolah menjadi pisau. Perbedaannya adalah saat mereka membuat pisau tulang manusia, mereka mempertahankan lekukan pada tulangnya, sehingga pisaunya secara alamiah menjadi lebih kuat,” jelasnya kepada Live Science.

Tulang burung kasuari di lain pihak lekukannya tidaklah sebesar lekukan yang dimiliki oleh tulang manusia. Strukturnya juga cenderung lebih pipih jika dibandingkan tulang manusia. Sebagai akibatnya, pisau yang dibuat dari tulang burung kasuari pun tidak sekuat pisau yang dibuat dari tulang manusia.

Dominy sendiri pertama kali tertarik untuk meneliti perbandingan antar pisau tulang saat dirinya melihat sebuah laci berisi pisau-pisau tulang yang masing-masingnya berukuran kurang lebih 30 cm. Pisau-pisau tersebut terbuat dari tulang burung kasuari serta tulang manusia. Koleksi pisau tersebut dilihat oleh Dominy saat dirinya berkunjung ke Museum Seni di Kolese Dartmouth, AS.

Saat pertama kali melihat pisau-pisau tulang tersebut, Dominy mengaku kalau dirinya tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Awalnya ia hanya sebatas tertarik pada pahatan yang adapada pisau. Namun saat dirinya mengetahui kalau pisau-pisau ini dibuat dari bahan yang berbeda, ia merasa penasaran apakah ada alasan khusus di balik penggunaan bahan yang berbeda.

Dominy pun lantas tergelitik untuk melakukan penelitian atas pisau tersebut beserta perbedaannya satu sama lain. “Saat nyawa anda berada di ujung tanduk, anda bakal terdorong untuk memakai pisau terbaik yang ada di dekatnya. Lantas muncullah pertanyaan: apakah keduanya (pisau tulang manusia dan kasuari) memiliki perbedaan dalam hal efisiensi?” kata Dominy.


Sebuah penyelidikan kecil yang ia lakukan kemudian menemukan kalau fungsi utama pisau tulang tersebut adalah untuk menamatkan riwayat musuhnya dalam pertarungan jarak dekat. Taktik ini lazimnya dilakukan oleh prajurit dari suku lokal yang tinggal di Sepik, Papua Nugini, saat sedang menyerang perkampungan lawan atau melindungi kampungnya sendiri.

Mula-mula, mereka akan menghujani lawannya dengan anak panah dan tombak. Sesudah itu barulah mereka menghunuskan pisaunya untuk menggorok leher lawannya. Taktik pertempuran ini masih digunakan oleh mereka hingga setidaknya akhir tahun 1970-an. Adapun selain untuk bertarung di medan perang, pisau tulang ini juga digunakan untuk melumpuhkan tahanan sebelum hendak dimakan.

Kisah mengenai kanibalisme yang dilakukan oleh suku pedalaman Papua Nugini sendiri sudah tercatat oleh orang-orang asing – khususnya misionaris – yang bertugas di sana sejak akhir tahun 1800-an hingga awal 1900-an. Namun Dominy memperingatkan kalau tulisan yang dibuat oleh para misionaris ini mungkin tidak sepenuhnya akurat dan sudah dilebih-lebihkan. Pasalnya mereka menulis ini tanpa dibekali dengan pemahaman memadai mengenai budaya dan cara pandang suku yang bersangkutan.

Lepas dari hal tersebut, adalah hal yang jelas kalau pisau tulang ini memiliki posisi penting dalam budaya masyarakat setempat. Pasalnya saat seseorang membuat pisau dari tulang manusia, tidak sembarang mayat bisa digunakan untuk membuat pisau ini. “Pisau tulang manusia haruslah dibuat dari orang yang benar-benar penting,” kata Dominy. “Anda tidak bisa mengambil tulang begitu saja dari orang biasa. Orang itu haruslah ayahmu, atau orang yang benar-benar disegani dalam kelompokmu.”

Hal tersebut tidak lepas dari keyakinan yang diemban oleh warga setempat. Menurut keyakinan mereka, saat suatu pisau tulang dibuat, pisau tersebut turut membawa kekuatan spiritual, hak, dan kemampuan yang dimiliki oleh pemilik tulang yang terdahulu. Singkatnya, ketika seseorang yang memiliki kedudukan tinggi di suatu suku meninggal, maka kekuatannya bakal terwariskan ke orang lain saat tulangnya diambil dan dijadikan pisau oleh orang yang bersangkutan.

Di masa kini, pisau tulang manusia dan pisau tulang kasuari tradisional sudah sulit dijumpai di Papua Nugini. Namun pisau kasuari modern masih lazim diproduksi hingga sekarang untuk dijual dengan harga tinggi. Kasuari sendiri aslinya hanyalah burung pemakan buah-buahan. Namun akibat ukurannya yang besar dan kekuatannya yang perkasa, burung ini menjadi salah satu hewan yang disegani oleh penduduk steempat.

Kasuari tidak bisa terbang akibat ukurannya yang terlampau besar, namun burung ini memiliki cakar sepanjang 12 cm pada kakinya. Saat kasuari menggunakan kaki ini untuk menendang, tendangannya bisa menimbulkan luka yang amat fatal bagi korbannya. Jika terpaksa harus melarikan diri, kasuari juga bisa berlari hingga secepat 50 km/jam, melompat setinggi 1,5 m di udara, dan berenang menyeberangi sungai kecil.

Untuk melihat mana yang lebih kuat antara pisau tulang manusia dan pisau tulang kasuari, Dominy dan rekan-rekannya melakukan pemeriksaan memakai CT scan pada masing-masing pisau. Ada lima tulang pisau manusia dan lima pisau tulang kasuari yang diperiksa memakai metode ini. Dengan memakai CT scan, tim peneliti bisa mengetahui tingkat kepadatan tulang, yang pada gilirannya bisa dijadikan patokan untuk memperkirakan kekuatan yang dimiliki oleh tulang tersebut.

Selain melakukan pemeriksaan memakai CT scan, Dominy dan para koleganya juga melakukan tes kekuatan memakai tulang kasuari yang lain. Saat mereka mencoba menekuk tulang tersebut secara paksa, mereka menemukan kalau tulang kasuari bisa menahan beban hingga 200 Newton sebelum benar-benar patah.

Saat hasil penelitian ini dikombinasikan, mereka menemukan kalau pisau yang dibuat dari tulang manusia dua kali lebih kuat dibandingkan pisau yang dibuat dari tulang kasuari. Kendati begitu, hal tersebut tidak lantas membuat pisau tulang kasuari sama sekali tidak berguna. Jika pisau tulang kasuari mengalami kerusakan, maka pisau tersebut dapat diganti dengan lebih mudah.

Hal demikian tidak berlaku untuk pisau tulang manusia karena tidak sembarang kerangka manusia bisa diambil tulangnya untuk dijadikan pisau. Itulah sebabnya saat suku asli Papua Nugini membuat pisau tulang manusia, mereka membuatnya dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi sehingga pisaunya juga lebih awet.

“Dari cara kami melihatnya, anda pasti bakal melakukan segalanya untuk mempertahankan pusaka keluarga,” jelas Dominy. “Pisau tulang manusia dalam praktiknya adalah benda yang tak tergantikan. Jadi saat anda membuatnya, anda harus memastikan kalau pisaunya bisa awet selama mungkin supaya tidak mudah patah.”

Sumber :
https://edition.cnn.com/2018/05/05/health/new-guinea-human-bone-dagger/index.html
https://www.livescience.com/62399-human-cassowary-bone-daggers.html